Skip to main content

Featured

pertama di indonesia

 

CUNTAKA PEMANGKU/PINANDITA



CUNTAKA BAGI PAMANGKU



Pamangku pada dasarnya tidak ikut terkena cuntaka yang disebabkan oleh orang lain, (pamangku tan milu keneng cuntakaning len). Hat ini dimaksudkan bahwa bilamana ada salah seorang warga masyarakat di desanya atau keluarga dekat yang meninggal, pamangku tidak kena cuntaka. Oleh karenanya pamangku masih dapat melanjutkan tugasnya di pura. Tetapi bila pamangku mengalami musibah kematian, diantara anggota keluarga di rumahnya sendiri, pamangku tersebut terkena
cuntaka selama tiga hari, atau lebih lama sesuai dengan tingkat hubungan kekeluargaannya- Dalam lontar Tata Krama Pura dijelaskan.

yan pamangku kahalangan pati ngarep ring,, pahumahania, tigang, dina cuntakania yan sang Brahmana Pandita, tan hana cuntakania.

Malih I Pamangku tan milu keneng cuntaka Wong len, Yan arep anak lan putunia pejah, pitung dina cuntakania. Tutugning sengkerning cuntakania teke wenang I Pamangku aprayascita.

Terjemahannya:

Bilamana Pamangku mendapat halangan kematian di rumahnya, tiga hari cuntakanya. Kalau pendeta tidak ada cuntakanya. Dan lagi Pamangku tidak ikut terkena cuntaka orang lain. Kalau terhadap anak dan cucunya yang meninggal tujuh hari cuntakannya. Setelah tiba berakhir cuntakanya sepatutnya Pamangku itu melaksanakan upacara prayascitta.

 Masih dalam lingkungan kematian, bagi Pamangku yang rumahnya berdampingan dengan pura tempatnya bertugas, maka bilamana di rumah itu ada kematian dianjurkan bila akan menyimpan jenazah di rumah agar dipindahkan ketempat lain. Untuk jelasnya berikut ini akan kami kutipkan dari lontar Widhi Sastra Satya Mandala sebagai berikut:

"Mwah yan hana kahyangan panyiwian sang ratu, yadyan prasadha ring kahyangan ika, masanding umahnia maparek, tan pabelat marga, ri tekaning kaparekan de Mangku Bhatara, hageakna prateka haywa ngaliwari salek suwenya.

Yan hana halangan bhumi bhaya kinwan de sang ratu dohaken anyekah wangke ika, yan prahimba marep juga same anyekeh wangke, yang anti amreteka, wenang mulih ring dunungania nguni, haywa nyekeh sawa ring dunungan de Alangku sasuwe-suwenia Imeh ikang parahvangan sang Rathu phalania sang ratu gering, reh de Mangku cemer.



Yan doh anyekeh wangke selat marga rurung, limang dina de Mangku kacuntakan dadi de Mangku ulah ulih ring kahyangan, ngaturang pasucian. Yan de Mangku nyekeh wangke ring umahnia, salaiwase tan kawasa de Mangku ka kahyangan, sapuputan sawa mabhasmi luwar cuntakania"
Terjemahannya:
Dan lagi bila ada pura pemujaan. Raja maupun prasadha di pura itu, berdampingan rumahnya berdekatan tidak dibatasi jalan, tat-kala Pamangku kematian, agar secepatnva diupacarakan jangan melewati waktu sebulan. Bilamana karena suatu halangan wabah, (agar) disuruh oleh sang Raja untuk menjauhkan menyimpan jenazah itu, (bila berkehendak menyimpan jenazah itu). Pada waktunya akan mengupacarai boleh untuk di bawa pulang ketempatnya semula janganlah menyimpan jenazah itu di rumah Pamangku, (oleh karena) selamanya akan tercemar aura tempat persembahyangan Raja yang akan berakibat sang Raja akan tertimpa penyakit oleh karena Pamangku menyimpan yang menyebabkan leteh.

Bila jauh tempatnya menyimpan jenazah itu, dibatasi jalan lima hari lamanya Pamangku terkena cuntaka, Pamangku diperkenankan keluar masuk ke pura untuk menghaturkan pesucian
Bila Pamangku menyimpan jenazah itu dirumahnya, selama itu tidak diperkenankan Pamangku itu pergi ke pura, setelah selesainya jenazah itu dibakar, saat itu berakhirlah cuntakanya pamangku itu.

Demikianlah Pamangku karena tugasnya ditempat suci dan karena tingkat penyucianya tidak sama dengan sulinggih patut menjauhi hal-hal yang dipandang dapat menyebabkan leteh dan cemer. Bila karena suatu keadaan yang tidak terhindarkan seperti karena kematian salah seorang anggota keluarganya disatu rumah, maka upaya penyucian diri Pamangku dilakukan dengan upacara prayascitta. Kecuntakan bagi Pamangku selain disebabkan karena kematian salah satu anggota keluarganya, atau karena nyekeh sawa ( menyimpan mayat dirumahnya) juga terjadi karena Pamangku mengambil istri baru. Dalam hal serupa itu lontar Tatwa Siwa Purana memberi petunjuk sebagai berikut:

... yan sampun madeg Pamangku, tan kawenang cemer, yan wenten Pamangku malih mengambil rabi, ri wusnia mapawarangan, wenang sire mangku manyepuh pawintenan nguni. Mwah ngaturang pasapuh ring pura mwah wadone punika wenang nyepuh. Apang tan kari kareketan letuh, yan tan nawur penyapuh, tan kawenang ka pura. Yan marabi saking paiccan nabe, mwang guru wisesa, kalih saking pakramane ngaturin marabi, punika dados ngaturang pangerebu alit, ring pura pura nenten ja masepuh.

Terjemahannya:

... kalau sudah menjadi Pamangku, tidak boleh cemer, kalau ada Pamangku beristri baru, setelah selesai upacara perkawinannya patut Pamangku itu melaksanakan upacara nyepuh pawintenannya yang lalu dan lagi menghaturkan upacara pasasapuh di pura, dan istrinya itu patut melaksanakan. upacara nyepuh. Supaya tidak terkena letuh (cemar), kalau tidak melaksanakan upacara penyapuh tidak diperkenankan ke pura. Kalau mengambil istri karena pemberian guru atau pemerintah maupun dan warga masyarakat yang memberikan, atau menyuruh beristri, diperkenankan hanya menghaturkan upacara pangrebu yang sederhana di pura, tidaklah dengan upacara penyapuh.

Bagi Pamangku wanita yang cuntaka karena kotor lain juga berlaku sebagaimana umumnya. Dan setelahnya mabersih diri (mandi berkeramas) masih diperlukan tingkat pembersihan lebih lanjut seperti prayascitta atau setidak-tidaknya dengan matirta sebelum akan melaksanakan tugas ke pura. Demikian halnya cuntaka karena melahirkan atau keguguran kandungan, batas cuntakanya sesuai dengan cuntaka yang berlaku bagi masyarakat umum. Sesuai dengan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek Agama Hindu VI Tahun, 1980 ditetapkan sebagai berikut:

1.    Sabel atau cuntaka karena melahirkan yang terkena cuntaka adalah diri pribadi dan suaminya beserta rumah yang di tempatinya. Batas waktunya sekurang kurangnya: 42 hari dan berakhir setelah mendapat tirta pabersihan dan suaminya sekurang-kurangnya sampai dengan putusnya tali pusar si bayi. 
2.    Sebel karena wanita keguguran kandungan adalah diri pribadi dan suaminya beserta dengan rumah yang di tempati. Batas waktu sekurang-kurangnya 42 hari dan berakhir setelah dapat tirta pabersihan.


Bilamana dalam kegiatan upacara piodalan di pura Pamangku mendapat halangan kematian salah seorang anggota keluarganya, maka agar Pamangku tersebut tidak terhalang dalam  melaksanakan tugasnya di pura, dianjurkan agar tidak pulang kerumah yang ada kematian, bilamana Pamangku tersebut pulang maka ia akan terkena cuntaka sehingga tidak diperkenankan masuk ke pura sebelum melakukan upacara prayascitta.



Comments

Popular Posts