Search This Blog
Kita semua adalah pelayan; biasa jadi pelayan keinginan sendiri, pelayan orang lain, pelayan masyarakat atau pelayan Tuhan ; jadilah pelayan yang mampu menyelamtkan diri di dunia dan akhirat
Featured
- Get link
- X
- Other Apps
Posted by
SUBHATMA
CUNTAKA PEMANGKU/PINANDITA
CUNTAKA BAGI PAMANGKU
Pamangku
pada dasarnya tidak ikut terkena cuntaka yang disebabkan oleh orang lain, (pamangku tan milu keneng cuntakaning len). Hat ini
dimaksudkan bahwa
bilamana ada salah seorang warga masyarakat di desanya atau keluarga dekat yang meninggal, pamangku tidak kena cuntaka. Oleh
karenanya pamangku masih dapat melanjutkan tugasnya di pura. Tetapi bila
pamangku mengalami musibah kematian, diantara anggota keluarga di rumahnya
sendiri, pamangku tersebut terkena
cuntaka selama tiga hari, atau lebih lama sesuai dengan tingkat hubungan kekeluargaannya- Dalam lontar Tata Krama Pura dijelaskan.
cuntaka selama tiga hari, atau lebih lama sesuai dengan tingkat hubungan kekeluargaannya- Dalam lontar Tata Krama Pura dijelaskan.
yan pamangku kahalangan pati ngarep
ring,, pahumahania, tigang, dina cuntakania yan sang
Brahmana Pandita, tan hana cuntakania.
Malih I Pamangku tan milu keneng cuntaka Wong len, Yan arep anak lan putunia pejah, pitung dina cuntakania. Tutugning
sengkerning cuntakania teke wenang I Pamangku aprayascita.
Terjemahannya:
Bilamana Pamangku
mendapat halangan kematian di rumahnya, tiga hari
cuntakanya. Kalau pendeta tidak ada cuntakanya. Dan lagi Pamangku tidak
ikut terkena cuntaka orang lain. Kalau terhadap anak dan cucunya yang meninggal tujuh hari cuntakannya. Setelah tiba
berakhir cuntakanya sepatutnya Pamangku itu melaksanakan upacara
prayascitta.
Masih
dalam lingkungan kematian, bagi Pamangku yang rumahnya berdampingan dengan
pura tempatnya bertugas, maka bilamana di rumah itu ada kematian dianjurkan bila akan menyimpan jenazah di
rumah agar dipindahkan ketempat lain. Untuk jelasnya berikut ini akan kami
kutipkan dari lontar Widhi Sastra Satya Mandala sebagai berikut:
"Mwah yan hana kahyangan panyiwian
sang ratu, yadyan prasadha ring kahyangan ika, masanding umahnia maparek, tan
pabelat marga, ri tekaning kaparekan de Mangku Bhatara, hageakna prateka haywa
ngaliwari salek suwenya.
Yan hana halangan
bhumi bhaya kinwan de sang ratu dohaken anyekah wangke ika, yan prahimba marep juga same
anyekeh wangke, yang anti amreteka,
wenang mulih ring dunungania nguni, haywa nyekeh sawa ring dunungan de Alangku
sasuwe-suwenia Imeh ikang parahvangan sang Rathu phalania sang ratu gering, reh
de Mangku cemer.
Yan doh anyekeh wangke selat marga
rurung, limang dina de Mangku kacuntakan dadi de Mangku ulah ulih ring
kahyangan, ngaturang pasucian. Yan de Mangku
nyekeh wangke ring umahnia, salaiwase tan kawasa de Mangku ka kahyangan,
sapuputan sawa mabhasmi luwar cuntakania"
Terjemahannya:Dan lagi bila ada pura pemujaan. Raja maupun prasadha di pura itu, berdampingan rumahnya berdekatan tidak dibatasi jalan, tat-kala Pamangku kematian, agar secepatnva diupacarakan jangan melewati waktu sebulan. Bilamana karena suatu halangan wabah, (agar) disuruh oleh sang Raja untuk menjauhkan menyimpan jenazah itu, (bila berkehendak menyimpan jenazah itu). Pada waktunya akan mengupacarai boleh untuk di bawa pulang ketempatnya semula janganlah menyimpan jenazah itu di rumah Pamangku, (oleh karena) selamanya akan tercemar aura tempat persembahyangan Raja yang akan berakibat sang Raja akan tertimpa penyakit oleh karena Pamangku menyimpan yang menyebabkan leteh.
Bila jauh
tempatnya menyimpan jenazah itu, dibatasi jalan lima hari lamanya Pamangku terkena
cuntaka, Pamangku diperkenankan keluar masuk ke pura untuk menghaturkan pesucian‑
Bila Pamangku
menyimpan jenazah itu dirumahnya, selama itu tidak diperkenankan Pamangku itu
pergi ke pura, setelah selesainya jenazah itu dibakar, saat itu berakhirlah
cuntakanya pamangku itu.
Demikianlah Pamangku
karena tugasnya ditempat suci dan karena tingkat penyucianya tidak sama dengan sulinggih patut menjauhi hal-hal yang dipandang
dapat menyebabkan leteh dan cemer.
Bila karena suatu keadaan yang tidak terhindarkan
seperti karena kematian salah seorang anggota keluarganya disatu rumah,
maka upaya penyucian diri Pamangku dilakukan dengan upacara prayascitta.
Kecuntakan bagi Pamangku selain disebabkan karena kematian salah satu anggota
keluarganya, atau karena nyekeh sawa ( menyimpan mayat dirumahnya) juga terjadi
karena Pamangku mengambil istri baru. Dalam
hal serupa itu lontar Tatwa Siwa Purana memberi
petunjuk sebagai berikut:
... yan sampun madeg Pamangku, tan
kawenang cemer, yan wenten Pamangku malih mengambil rabi, ri wusnia
mapawarangan, wenang sire mangku manyepuh pawintenan nguni. Mwah ngaturang
pasapuh ring pura mwah wadone punika wenang nyepuh. Apang tan kari kareketan
letuh, yan tan nawur penyapuh, tan kawenang
ka pura. Yan marabi saking paiccan nabe, mwang guru wisesa, kalih saking
pakramane ngaturin marabi, punika dados ngaturang pangerebu alit, ring pura
pura nenten ja masepuh.
Terjemahannya:
... kalau sudah
menjadi Pamangku, tidak boleh cemer, kalau ada Pamangku beristri baru, setelah
selesai upacara perkawinannya patut Pamangku itu melaksanakan upacara nyepuh pawintenannya yang lalu dan lagi menghaturkan
upacara pasasapuh di pura, dan istrinya itu patut melaksanakan. upacara nyepuh. Supaya tidak terkena letuh (cemar),
kalau tidak melaksanakan upacara
penyapuh tidak diperkenankan ke pura. Kalau mengambil istri karena
pemberian guru atau pemerintah maupun dan warga masyarakat yang memberikan,
atau menyuruh beristri, diperkenankan hanya menghaturkan upacara pangrebu yang
sederhana di pura, tidaklah dengan upacara penyapuh.
Bagi Pamangku wanita yang cuntaka
karena kotor lain juga berlaku sebagaimana
umumnya. Dan setelahnya mabersih diri (mandi berkeramas) masih diperlukan
tingkat pembersihan lebih lanjut seperti prayascitta atau setidak-tidaknya
dengan matirta sebelum akan melaksanakan tugas ke pura. Demikian halnya cuntaka
karena melahirkan atau keguguran kandungan, batas cuntakanya sesuai dengan cuntaka
yang berlaku bagi masyarakat umum. Sesuai dengan Keputusan Seminar Kesatuan
Tafsir Terhadap Aspek Agama Hindu VI Tahun, 1980 ditetapkan sebagai berikut:
1.
Sabel atau cuntaka karena melahirkan yang terkena cuntaka adalah diri
pribadi dan suaminya beserta rumah yang
di tempatinya. Batas waktunya sekurang kurangnya:
42 hari dan berakhir setelah mendapat tirta pabersihan dan suaminya sekurang-kurangnya
sampai dengan putusnya tali pusar si bayi.
2.
Sebel karena wanita keguguran kandungan adalah diri pribadi dan suaminya
beserta dengan rumah
yang di tempati. Batas waktu sekurang-kurangnya 42 hari dan berakhir setelah dapat tirta pabersihan.
Bilamana dalam
kegiatan upacara piodalan di pura Pamangku mendapat halangan kematian salah
seorang anggota keluarganya, maka agar Pamangku tersebut tidak terhalang dalam melaksanakan tugasnya di pura, dianjurkan agar
tidak pulang kerumah yang ada kematian, bilamana Pamangku tersebut
pulang maka ia akan terkena
cuntaka sehingga tidak diperkenankan masuk ke pura sebelum melakukan upacara prayascitta.
- Get link
- X
- Other Apps
Popular Posts
Posted by
SUBHATMA
wangsa, soroh, kasta dan warna di Bali
- Get link
- X
- Other Apps
Posted by
SUBHATMA
BUNGA YANG BOLEH DIGUNAKAN UNTUK YADNYA
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment