Search This Blog
Kita semua adalah pelayan; biasa jadi pelayan keinginan sendiri, pelayan orang lain, pelayan masyarakat atau pelayan Tuhan ; jadilah pelayan yang mampu menyelamtkan diri di dunia dan akhirat
Featured
- Get link
- X
- Other Apps
Posted by
SUBHATMA
BUNGA DALAM HINDU
BUNGA DALAM HINDU
A. Pendahuluan
Bunga
merupakan sarana pokok dan sangat banyak digunakan dalam membuat yajna. Sarana berupa bunga memiliki peranan
yang sangat penting untuk keleng-kapan dan kesempurnaan suatu persembahan atau
yajna, baik yang digunakan untuk pelaksanaan yajna setiap hari atau nitya karma, maupun untuk keperluan yajna
dalam waktu-waktu tertentu atau naimitika karma. Kalau kita perhatikan
kaitannya dengan pelaksanaan Panca Yajna, bunga banyak digunakan dalam upakara banten, sesajen atau upakara yajna.
Kemudian dalam kepentingan yang
lainnya, bunga juga dipakai sebagai suatu hiasan untuk menumbuhkan suasana
keinda-han dan menciptakan suasana kenyamanan dalam suatau kegiatan tertentu,
baik dalam lingkungan keluarga, aktifitas kemasya-rakatan, kegiatan hiburan,
kegiatan hari raya nasional, kegiatan pesta perkawinan, kunjungan pada tempat-tempat tertentu, kunjungan
kenegaraan, dalam percintaan, kedukaan, ziarah ke kuburan dan seba-gainnya.
Dalam kemajuan tehnologi dan ilmu
pengetahuan dewasa ini yang sangat pesat, kebutuhan akan bunga semakin banyak
digunakan oleh masyarakat, walaupun dalam penggunaannya tidak berkaitan
dengan kepentingan upacara agama. Dalam
perkembangan pariwisata saat ini yang bunga juga di perlukan dalam jumlah besar
yang digunakan untuk perhiasan . sungguh
banyak manfaat dan kegunaan bunga dalam kehidupan bagi manusia. Demikian juga di
dalam kehidupan bagi umat Hindu, bunga memiliki nilai relijius, nilai spiritual
dan nilai kesucian yang sangat tinggi.
Bunga yang digunakan untuk keperlu
yajna atau persembahan, bukanlah bunga yang sembarangan atau bunga yang
diperoleh asal ada atau asal dapat, tetapi bunga yang dipilih khusus sesuai
dengan sumber-sumber sastra suci dalam ajaran agama Hindu. Menyimak makna sebuah
sloka suci Bhagavadgita IX.26
Patraým puûpam phalaý toyaý
Yo me bhaktyã prayacchati,
Tad ahaý bhakty-upahåtam
Asnãmi prayatãtmanaá.
Siapapun yang dengan sujud bhakti
kepada-Ku mempersembahkan sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan,
setetas air, aku terima sebagai bhakti persembahan dari orang yang berhati
suci.
Menyimak makna sebuah sloka suci
dalam kitab suci Bhagavadgita di depan, ada ditegaskan penggunaan bunga sebagi
sarana dalam upacara yajna. Dalam sloka tersebut ada tersurat kata puspam yang maksudnya adalah bunga, yang
di gunakan sebagai sarana suci dalam upacara yajna Istilah lain dari bunga
adalah puspa, kembang, sekar dan ada
juga menyebut nama kusuma.
Puspa atau kembang merupakan wujud
benda yang disuguhkan sebagai cara menunjukkan perasaan yang dapat memberikan
kepuasan. Puspa atau kembang merupakan sarana untuk menyampaikan cetusan hati
dan rasa bhakti kepada Hyang Widhi Wasa dengan mempersembahkan upakara sebagai
wujud yajna .
Sebagai landasan utama dalam
menghaturkan persembahan adalah ketulusan atau kesucian hati yang disertai
dengan cinta kasih. Walaupun persembahannya sederhana yaitu dengan sekuntum
bunga, apabila landasan kesucian dan cinta kasih yang menyertainya, maka
persembahan yang demikianlah yang
diterima oleh Hyang Widhi.
Kemudian sebaliknya, apabila
memiliki kemampuan untuk mempersembahkan yang serba banyak, serba mewah, serba meriah, serba semarak, juga
tidak ada salahnya, sepanjang semua persembahan tersebut merupakan persembahan
yang terhormat, persembahan yang dilandasi oleh rasa ikhlas dan suci, tentulah
baik pahalanya, karena Hyang Widhi dapat menerima persembahan tersebut yang disertai dengan kesadaran yang tinggi,
bukan sifatnya pamrih yang semata-mata untuk menerima balasanya. Juga bukan
merupakan suatu persembahan yang sifatnya paksaan, bukan juga persembahan untuk
mewujudkan rasa gengsi dengan jorjoran karena status social yang dimiliki. Suatu
persembahan akan dapat diterima dengan
terpuji, bilamana kesederhanaan serta kesemarakan disertai oleh pendalaman
maknanya dan berlandaskan pada konsep kebenaran atau dharma.
Ayam
yajño bhuvanasya nàbhiá
Yajurveda XXIII.62.
(Yajña-Nya
adalah pusat (penciptaan dan pemeliharaan) alam semesta).
Tasmãd
yajñãt sarvahuta åcaá sãmãni jajñire, chandãýsi jajñire tasmãd yajus tasmãd
ajãyata.
Yajurveda XXX.7
Dari
Tuhan Yang Maha Agung dan kepada-Nya umat manusia mempersembahkan berbagai
yajña dan dari pada-Nya muncul Ågveda dan Sãmaveda. Dari pada-Nya muncul
Yajurveda dan Sãmaveda.
”Saha yajñahprajâh srtva puro’vâca
prajâpatih,
anena prasavisya dhavam esa vo’dtvista
kâmadhuk”.
Bhagawatgita III. 10
Terjemahannya
:
”Pada
jaman dahulu Prajapati (Tuhan Yang Mahaesa) menciptakan manusia dan alam
semesta atas dasar Yadnya, selanjutnya bersabda : ”Dengan ini engkau akan
berkembang dan menjadikannya sebagai Kamadhuk (yang memenuhi keinginanmu).
Puruûa evedaý
sarvaý
yadbhùtaý
yacca bhavyam,
utàmåtatvasesà no
yadannenati
rohati.
Ågveda X.90.2.
(Tuhan sebagai
wujud kesadaran agung merupakan asal
dari segala yang telah dan yang akan ada.
Ia adalah raja di alam yang abadi dan juga di bumi ini yang hidup dan
berkembang dengan yadnya)
“ Memang didalam kitab Rg. Weda kita
jumpai teori yajna, dimana Maha Purusa dalam penciptaan didunia ini. Ia lakukan
melalui yajna dan yang dipergunakan sebagai yajna adalah badanya sendiri.
Pengorbanan yang tertinggi adalah kurban yang dilakukan dengan mengorbangkan
diri sendiri. Tetapi kalau diperhatikan
lebih lanjut, apapun juga yang dijadikan kurban dalam upacara yajna itu adalah tidak lain dari pada-Nya, karena Maha Purusa
pada permulaan ciptaannya menjadikan semua ini dengan jalan berkurban yang
berasal dari dirinya sehingga dengan demikian dunia dan seisi alam ini identik
dengan-Nya.
B. Pengertian
Unsur isi perlengkapan upakara
samskara atau yajna yang banyak digunakan dalam kehidupan beragama Hindu adalah
kembang atau puspa yang merupakan bentuk sesajen yang paling mudah dan paling
murah. Puspa adalah benda yang di persembahkan sebagai cara menunjukan perasaan
yang dapat mmberikan kepusan. Yang penting ialah bahwa perbuatan itu akan dapat
memberikan rasa puas pada diri seseorang yang ingin menyampaikan perasaannya. Bentuk yang lebih komplit ialah dengan
menambah jenis korban itu dalam bentuk hasil bumi lainnya.
Didalam
mantra Wedaparikrama, ada mantra untuk puspa aksata dan gandha, masing-masing
berbunyi sebagai berikut :
“Oý puspa-dantaya namah (puspa)
Oý
kum kumara wijaya naham (aksata)
Oý
Cri Gandhecwari- amrtebhyo namah swaha (gandha)”
Yang di maksud dengan puspa-danta ialah Ciwa, gelar yang di berikan
kepada ciwa. Dari mantra di atas, penggunaan kembang atau bunga bukan lagi sebagai
alat, tetapi sebagai lambang siwa yang tidak berbeda dari pada-Nya.
Aksata atau biji-bijian berupa beras adalah lambang benih (biji). Kumara
adalah putra siwa. Aksata adalah hasil satu ciptaan yang tidak lain adalah
ciptaan-Nya.
Gandha adalah bau harum, yang
berasal dari kembang atau bunga dan biji-bijian itu. Gandha adalah sifat yang
tidak terpisah. Gandha diumpamakan sebagai amrta (lambang kehidupan yang
abadi). Gandha adalah amrta yang didalam mantra diatas dihubungkan dengan siwa
sebagai Iswara,” (baca Wedaparikrana,Gde pudja, M.A., S.H :46 -47).
Dari mantra di atas yaitu
mantra puspa, perlu di ingat bahwa puspa di mak-sudkan sebagai wujud dari Syang
Hyang Puspa-danta merupakan gelar Sang Hyang Siwa atau Hyang Widhi Wasa. Dengan
demikian, adanya bunga puspa sebagai lambang siwa dan adanya bunga atau puspa
sebagai sarana persembahan sarana pemujaan kehadapan Hyang Widhi (Bhagavadgita,
IX, 26)
Berdasarkan sumber-sumber sastra Agama Hindu menegaskan bahwa perlunya
melakukan persembahan dengan sarana yang di benarkan oleh ajaran agama Hindu serta yang memiliki nilai kesucian.
Dalam beberapa naskah keagamaan ada
di jumpai penjelasan mengenai bunga yang memiliki arti dan makna tertentu,
seperti bunga sebagai perlambang restu dari Hyang Widhi Wasa, bunga perlambang
jiwa alam pikiran, dan bunga merupakan sarana upacara keagamaan atau sarana
upacara yajna yang dilaksanakan oleh umat Hindu.
a. Dalam Kekawin Ramayana, adanya bunga Gandha Kusuma perlambang restu Hyang Widhi terhadap Sang
Rama ketika berperang menumpas ketidak benaran atau adharma, maka Sang Rama
direstui dengan di jatuhi hujan bunga yang harum baunya.
b. Dalam Kekawin
Arjuna Wiwaha, ada menegaskan dalam keberhasilan Sang Arjuna melakukan
tapa, brata, yoga dan semadhi dan sebagai bukti Hyang Widhi merestui tapanya,
maka secara tiba-tiba berhamburan hujan bunga Puspa Warsa yaitu hujan bunga sebagi lambang Dewa Siwa (Hyang
Widhi) telah merestui tapanya sang Arjuna dengan menda-patkan anugrah Panah Pasupati, yang merupakan senjata lambang
kekuatan dharma untuk menumpas ketidak
benaran atau adharma.
c. Dalam Kidung
Aji Kembang bahwa Dewata Nawa Sanga di lambangkan dengan bunga Tunjung atau
teratai yang berwarna sembilan sesuai dengan arah Asta Aiswarya atau Asta Dala,
seperti Dewa Iswara arah timur dengan lambang
bunga tunjung putih, Dewa Mahesora ara tenggara dengan lambang bunga
tunjung dadu, Dewa Brahma arah selatan dengan lambang bunga tunjung merah, Dewa
Rudra arah barat daya dengan lambang bunga tunjung jingga, Dewa Mahadewa arah
barat dengan lambang bunga tunjung kuning,
Dewa Sangkara arah barat laut dengan lambang bunga tunjung wilis atau
bunga tunjung hijau, Dewa Wisnu arah utara dengan lambang bunga tunjung Hitam,
Dewa Sambu arah timur laut dengan lambang
bunga tunjung biru, dan Dewa Siwa
arah tengah dengan lambang bunga tunjung warna lima atau panca warna.
d. Dalam naskah Dwijendra Tattwa men-jelaskan bunga
teratai yang berwarna tiga: bunga teratai warna putih arah timur, bunga teratai
warna hitam arah utara, dan bunra teratai warna merah arah selata. Ketiga jenis
bunga teratai tersebut sebagai lambang Sang Hyang Tri Murti.
Kemudian bunga juga sebagai lambang
jiwa alam pikiran manusia. Dalam rangkaian upacaraa Pitra Yadnya kita menjumpai
adanya penggunaan Sekarura yang merupakan campuran daun temen, 12 macam bunga,
uang kepeng, dan beras kuning, sekaruru yang ini biasanya di taburkan mulai
dari mayat itu di berang-katkan, dalam perjalanan sampai di kuburan.
Sesungguhnya makna dari sekarura ini adalah sebagai pembuka jalan atau mele-paskan
kegelapan roh dalam mencari jalan ke Sorga.
Dalm Mpu lutuk aben menye-butkan
sebagai berikut :
“ih kita sang ingaskara, limaku sira
ngakih genah sira. Yan katiba ring tengahing dalan saget ketemu sira ana jurang
parung mandeg pwa sira rumuhun, samburata beras catur warna. Elingakna apan
jurang pinaka karman ta nguni duke urip”.
Menyimak
kisah cerita Hariwangsa, ada dikisahkan tentang ketulusan dan cetusan kasih
Prabhu Kresna terhadap Dewi Rukmini dengan memberikan sekuntum bunga sebagai lambang
kasih yang suci murni dan tiada duanya.
Selanjutnya
ada pula sebagai suatu ketegasan mengenai bunga melambangkan jiwa kepahlawanan
dengan bunga kembang sepatu merah atau wirakusuma
atau bunga yang gagah berani.
Sedangkan
mengenai arti atau makna bunga sebagai sarana keagamaan atau sarana upacara
yajna, sangat pernting artinya dan memiliki makna yang sangat mulia, seperti :
makna religius atau makna spiritual serta
makna kesucian. Penggunaan sarana bunga dalam upacara yajna
sangat banyak kita jumpai.
Bunga Yang Bisa digunakan
Dalam berbagai upakara atau banten, bunga merupakan sarana pokok dan
mengan-dung makna tersendiri sesuai dengan jenis upkara atau wujud bantennya.
Untuk upakara yajna perlu dipilih bunga
yang baik untuk digunakan sebagai persembahan atau sarana pemujaan maupun
dipakai sebagai sarana upacara yajna secara umum, antara lain: bunga yang
mekar, bunga yang harum baunya, bunga yang indah warnanya, bunga yang tidak
mudah layu, bunga yang dalam keadaan
segar atau bunga yang baru di petik, bunga yang tidak tua atau kering, serta
bunga yang lainya yang memenuhi syarat-syarat kesucian. Perlu di ingat, bunga sebagai
sarana dalam upacara yajna sebelum digunakan hendaknya terlebih dahulu
diperciki tirtha pengelukatan agar terbebas dari segala kekotoran dan
malapetaka. Jenis-jenis bunga yang baik untuk digunakan sebagai persembahan
adalah jenis bunga yang dapat menghindari umatnya dari perbuatan –perbuatan
dosa atau malapetaka, antara lain:
a Dalam Kekawin Siswaratri Kalpa, menyebutkan
sebagai berikut:
“Menur, kenyeri arja kacubung, saha
waduri putih, lawan kutat. Asoka saha
naga puspa hana tanguli bakula kalak macampaka, saroja biru, bang,
putih. Sahananing kusuma halapan ing samangkana. Makadi samining majarja,
sulasih panakaraning anggar cana sira”.
Yang artinya :
Menuh, kenyeri, gambir raja,
kecubung , serta meduri putih dan bunga kutat, asoka serta bunga cempaka.
Seroja biru, merah, putih semuanya bunga-bunga hendaknya dipetik yang demikian.
Sebagai pelaksanaan ppppmemuja pagi-pagi, bunga sulasih, sebagai sarana memuja
baeliau (Siwa).
b Dalam Lontar wariga Cemet, ada juga
menjelaskan tentang bunga yang di bolehkan sebagai sarana upacara agama
(upacara penebusan atma) serangkaian dengan upacara pitra yajna, antara lain: Bunga Jepun, Sari, Sincer,
pucuk pasat, Tulud Hyuh, Kwanta, Soka keeling, Kenyiri putih, Gambir Lima,
Kabari walanda Syulan, Tiga kancu, Sedap malam, anggrek Wulan, Kamrakan,
Gunggung Cina, Mawar, pucuk dadu, Tunjung Bang, Jepan Sudamala, Seruni putih,
Anggrek Madu, Sarikonta, Temen, Sempiol, pucuk susun, Soka, Natar. Kuranta,
kembang kuning, cempaka keeling, bunga gambir, Tunjur, Lungsur, Panca Galuh Grayas, Sandat, Sokasti, cempaka
kuning, Cempaka putih, Katrangan, Bunga parijata, pucuk Bang Lamba, Teleng
biru, Menuh Susun, Angsana Wungu, Teleng Putih, Dause Gde, Medore putih,
Sulasih harum, Tunjur Tutur, Sudmala, Tunjung Nilawati, Grana Petak, Gadung,
dan bunga Monasuli ergilo
c. Dalam Naskah Siwagama dan menegaskan beberapa
bunga yang dibolehkan untuk digunakan sebagai sarana upacara yajna, terutama
untuk membuat “Puspalingga” serangkaian upacara pitra yajna yakni untuk memuja
upacara pitara dan roh suci leluhur, terutama dalam upacara atma Wedana
(Memukul atau Nyekar), antara lain :Bunga Medori Putih Dan Bambu buluh.
d. Dalam Naskah Dasanama
menyebutkan tentang bunga yang memiliki mutu yang baik yang hendaknya dipilih
sebagai sarana upacara yajna adalah bunga Tunjung atau bunga teratai. Bunga
teratai atau bunga Tunjung dikaatakan bunga yang terbaik yang juga disebut Raja
Kusuma atau rajanya bunga-bungaan. Ditegaskan pula, apabila bunga teratai
Tunjung tidak ada, dapat pula memakai jenis bunga yang lainya, asalkan bunga
penggantinya memiliki warna yang sesuai, suci, bersih dan tidak layu.
Di samping itu
juga ada jenis bunga memiliki nilai yang utama dalam upacara yajna adalah bunga
Ratna. bunga ratna sebagai bunga yang utama untuk memuja tuhan/Hyang Widhi Wasa
atau sarana utama dalam upacara keagamaan. Bunga yang memiliki nilai keutamaan
merupakan bunga yang dapat menarik daya pesona yang memandangnya, dengan
demikian bunga yang demikian itulah yang
dapat digunakan sebagai sarana pemujaan.
Demikianlah sekilas uraian mengenai
jenis bunga yang baik dan bunga yang di perkenankan untuk di gunakan sebagai
sarana upacara yajna.
Bunga Yang Dilarang Untuk Yajna
Dalam pelaksanaan samskara upacara yajna tidaklah semua bunga dapat di gunakan,
atau bunga yang asal dapat karena penggunaan bunga harus tetap mengacu pada
nilai relijius, nilai spiritual dan nilai kesucian dan dipilih khusus sesuai
dengan sumber-sumber sastra suci dalam ajaran agama Hindu.
Dalam Agastya Parwa menegaskan
bagaimana keutamaan bunga yang kita persembahkan sebagai sarana pemujaan.
Adapun bunyi sloka sebagai berikut :
”Kunan ikan stri mahala tanpa pirak, tanpa
janma, tan wruh maniwi swami, mogha kinasihan denin laki wisesa manke sila nika
nuni; jnanabhaktis tu nathe ya, bhkati maswami nuniweh ri dewata ika nuni,
ndatan tepet bhakti niki, tan upakara phala nin bhaktinya resep. Dumehnya
wirupa mwan tanpa janma. Tan wruh amahelepa silanya nuni, agelem amujeken
kembang tan yogya pujakena, tan aradin, olah bwat jawanya, apan samanke kemban
tan yogya pujakena rin bhattara”.
Yang artinya:
Wanita buruk rupa, tidak kaya, tidak bangsawan, tidak bias melayani suami
tetapi di sayang oleh laki-laki utama. Perbuatannya dahulu demikian; ia itu
bhakti kepada suami, bhakti kepada bhatara, tetapi bhaktinya tidak tepat,
karena tanpa upakara. Itulah yang menyebabkan ia buruk rupa dan tidak
bangsawan, sifatnya dahulu ia tidak tahu menjadikan tingkah lakunya sopan dahulu (ia) gemar mempersembahkan bunga
yang tidak patut dipersembahkan, tidak
bersih dalam mengolah biji-bijiannya, karena kembang yang tidak patut dipersembahkan
kepada bhatara.
Menyimak makna sloka tersebut di atas, maka dapat ditegaskan disini,
walaupun sungguh besar rasa bhakti kehadapan Hyang widhi dan kepada sesam
ciptaan-Nya, tetapi rasa bhakti tersebut tidak disertai denga wujud persembahan
berupa upakara yajna maka kuranglah bermakna cetusan rasa bhakti itu. Demikian
pula selanjutnya walaupun sudah mewujudkan rasa bhakti itu kepada Hyang Widhi
dengan persembahan upakara yajna, tetapi persembahan yang kita haturkan
kehadapan-Nya tidak pada tem-patnya, mempersembahkan hal-hal yang tidak patut
di persembahkan, memper-sembahkan saran yajna yang tidak suci, persembahan itu
camah (kotor), mempersembahkan sarana yadnya dari hasil jarahan, mencuri menipu
(yang bukan miliknya), termasuk juga disini mempersembahkan bunga /kembang
/puspa /sekar yang tidak baik sesuai dengan landasan dharma, maka tidak ada
maknanya persembahan tersebut. Perlu di ingat bahwa rasa bhakti ke hadapan
Tuhan tentunya melalui sarana upakara yajna yang memiliki nilai kesucian sesuai
dengan jenis dan makna dari yajna itu sendiri.
Berikut ini akan di kemukan pula beberapa uraian yang membahas tentang
jenis bunga yang dilarang dalam pengguna-annya sebagai sarana upacara yajna
berda-sarkan ajaran agama Hindu.
a. Dalam Naskah Agastya Parwa, mene-gaskan :
”Kalinanya: nihan ikan
kembah tan yogya pujakena rin bhatara; kembah huleren, kembang rurutan inunduh,
kembang semuten, kembang laywan-laywan naranya alewan mekar, kembang mungah rin
sema. Nahan tal lwir nin kemban tan yogya pujakena de nikasan sattwika.
Kembang utama ta pujaken ira, maran saphala rupa nira, apan magaweya janma
lawan rupa ikan wwan tuhaganamuja naranya”.
Yang artinya :
“Inilah bunga yang tidak dapat di persembahkan
kepada bhatara, bunga yang berulat, bunga yang gugur tanpa di guncang, bunga
yang berisi semut, bunga yang layu yaitu bunga yang lewat masa mekarnya, bunga
yang tumbuh dikuburanya. Itulah jenis-jenis bunga yang tidak patut di persembahkan
agar supaya wajahnya sesuai dengan yang diharapkan, sebab orang yang selalu
memuja tersebut akan membentuk kelahiran wajahnya.
b. Dalam naskah Siwagama,
ada mene-gaskan tentang bunga yang tidak baik atau dilarang penggunaannya
sebagai sarana upacara yajna, khususnya di kaitkan dengan pelaksanaan Dewa Yajna
dalam fungsinya untuk sarana memuja kebesaran Hyang Widhi, antara lain bunga turuk, umung atau bunga kedukduk, yang
konon menurut mitologi disebut bunga lalat, baunya yang tidak harum dari bunga
tersebut kotor atau tidak suci.
c. Menurut naskah Yama
Purana Tattwa, menyebutkan mengenai bunga yang dilarang memakainya yaitu
bunga yang keadaannya cemer atau bunga yang tidak suci, seperti bunga yang
digigit belalang, bunga yang ada bekas dimakan ulat. Bunga yang seperti itu
dilarang dari pemakaiannya untuk membuat puspa linga maupun untuk yajna yang
lainnya.
d. Dalam naskan Aji
Janataka, menegaskan mengenai jenis bunga yang dilarang penggunaannya
sebagai sarana dalam pemujaan. Sesuai
naskah terarsebut jenis bunga yang dilarang antara lain jenis bunga jempiring alit dan jenis bunga silikonta. Kedua jenis bunga tersebut
konon menurut mitologinya tidak mendapat waranugraha dan tidak mohon
penglukatan Hyang Siwa, sehingga men-dapat kutukan untuk dilarang digunakan dalam
penggunaanya sebagai sarana pemujaan ke hadapan Hyang Widhi.
Didalam
Siwa Puran juga ada di sebutkan bahwa
bunga Ketaki (cempaka) tidak boleh digunakan untuk memuja Dewa Siwa karena mendapat kutukan; dari Dewi Sita
mengutuk bunga Ketaki bahwa bunga itu tidak akan pernah diterima oleh siwa sebagai
persembahan pada beliau; Hal ini dijelaskan oleh Rsi Romaharsana sebagai
berikut:
Ayah
Rama, Dasaratha, suatu kali meminta putranya untuk tinggal di hutan selama
empat belas tahun. Maka Rama dan istrinya serta adiknya Laksmana pergi kehutan.
Tiga orang itu tinggal di sungai Palgu. Kemudian terdengarlah kabar bahwa
Dasaratha mininggal karena sedih dan harus dilakukan sebuah upacara
Sraddha untuknya.
Maka Rama
kemudian menugaskan Laksmana pergi ke desa terdekat untuk mencari bahan-bahan
upacara. Setelah cukup lama Laksmana belum juga kembali kemudian Rama pergi
untuk mencari bahan-bahan itu sekaligus mencari Laksmana. Namun Rama juga tak
kunjung dating. Saat itu sudah sore dan upacara harus segera dilakukan. Maka
dalam keadaan putus asa, Sita melakukan upacaraa itu sendir. Dia melakukan
permandian di sungai Palgu sambil menyalakan sebuah lampu minyak kelapa. Dia
juga membuat persembahan (panda) pada sang raja yang telah wafat.
Namun setelah selesai melakukan upacara itu, erdengarlah suara tanpa
sumber yang berkata ”Sita, kau
terberkati, kami puas padamu” Dalam ketakjuban, Sita melihat sebuah tangan gaib
di udara menerima persembahannya.
“Siapakah anda” Tanya Sita.
”Aku adalah ayahmertuamu” jawab suara itu. ”upacara kremasiku telah
berjalan lanca. Aku telah menerima persemba-hanmu.” Tapi Rama dan Laksmana
tidak akan percaya jika aku ceritakan hal ini. Mereka tidak akan percaya ada
tangan gaib yang muncul dari udara untuk mengambil persembahan ini.”
Sementara itu Rama dan Laksmana telah tiba dan berkata ”Sita masaklah makanan, waktu kita tinggal
sedikit. Kita harus menyelesaikan upacara kremasi ini sebelum malam.”
Sita kemudian memberitahu mereka tentang kejadian itu dan kedua
bersaudara itu tidak mempercayainya. Mereka malah mentertawakannya dan
mengangapnya berbohong. Sita kemudian memanggil keempat saksinya. Namun keempat
saksi itumalah menyangkal telah melihat peristiwa itu. Maka tanpa kata-kata
lagi Sita memasak makanan dan Rama membuat persembahan untuk leluhurnya.
Kemudian terdengar suara dari
langit ”mengapa kalian memanggilku? Sita telah membuat kami berkenan”
Aku tidak bias mempercayai hal
ini, kata Rama, itu benar, kau bias menanyakan pada dewa matahari, kata suara
gaib itu.
Maka Dewa Matahari memberikan
keterangan yang mebenarkan Sita. Ini membuat Rama dan Laksmana malu dan kagum atas kebajukan Sita. Dan Sita
keempat saksi palsu tadi. Sungai Palgu dikutuk agar selalu mengalir di bawah
tanah. Bunga Ketaki (Cempaka) bahwa bung aitu tidak akan pernah diterima oleh
siwa sebagai persembahan pada beliau. Sapi dikutuk agar mulutnya selalu kotor
(tidak suci/berwarna hitam), karena mahluk itu berbohong dengan mulutnya,
sedangkan bagian belakaqng sapi itu juga akan selalu bersih (putih). Kemudian
api dikutuk agar selalu melahap benda apa saja yang ada di dekatnya. Oleh
karena itulah bunga cempaka tidak bias lagi dipakai untuk memuja Siwa.
Disamping itu juga Maharsi Narada mengutuk agar bunga cempaka tidak
pernah diterima lagi menjadi . persembahan
untuk dewa siwa.
Bunga Mitir, Tebu Ratu, Tibah dan Pisang Saba tidak baik untuk aturan . hal
ini ada sebuah mithologi seperti diceritakan
setelah meninggalnya Ida Sang Pandu, Dewi Kunti berkeinginan mengadakan upacara
(yadnya) besar. Rencana ini diketahui oleh pihak Korawa tertama Duryadhana yang
selalu iri dengan kemasyuran pandawa, terus berkeinginn untuk membencanai/menggagalkan
upacara tersebut. Maka dia mengadakaan tapa dan memohon kepada Dewi Durga. Dan
Dewi Durga menganugrahi keinginannya dnengan mengutus wadwa yang bernama
Bhutakala Sakti yang menghancurkan dan merusak yadnya yang dilakukan oleh
Pandawa. Karana sangat sakti dan tangguh sang Bhutakala sehingga tak bias
ditaklukan oleh Pandawa, yang menyebabkan pandawa lari dan keterlibatan Sri
Kresna dengan senjata Cakranyapun tidak mampu mengalahkan bhutakala tersebut.
Sehingga Sri Kresna Mampu mengetahui bahwa Bhutakalatersebut adalah
anugrah dari Betari Durga untuk merusak upacara sang Pandawa. Sehingga Sri
Kresna mendengar sabda “ Dewa-dewa Sri Kresna tidak pantas dewa lari dari
peperangan melawa I Bhutakala. Sehingga trompet perarang dan trompen yadnya
Dwarawti di bunyikan yang patut meniup adalah Nakula dan Sadewa. Begi tubunyi
tropet perang dan trompet yadnya sang sangat gemuruh makan I Bhutakala berlari
merasi diri akan kalah dalam mengahadapi Krisna dan sri Kresna terus mengejar
untuk membunuh I Bhutakala dan Dewi Durga.
Pada saat itu Dewa Siwa sedang melaksanakan tapa tapi karena bising
dengan suara trompet dan keributan perang tersebut, maka Dewa Siwa mendekati
Sri Kresna dan bertanya. Sri Kresna menyampaikan permasalahannya dan berniat
memohon anugrahuntuk membunuh Durga, Dewqa Siwa bersabda tidak akan dewa mampu
untuk membunuh Dewi Durga tapi jika keras keingunanmu untuk membunuh Dewi Durga
ini tongkat pakai, tetapi harus Nakula yang melaksanakan.
Cepat cerita Nkula sudah sampai dan bertemu dengan Dewi Durga dan tahu
akan maksud dan tujuan kedatangannya, dan bersabda: “wahai anaku, aku tau akan
dibunuh tetapi sebelum aku mati ada bisama adari aku :
- Darahku
akan tumbuh menjadi bunga Mitir, tidak boleh di jadikan aturan.
- tulangku
akan menjadi tebu ratu, tidak bias dijadikan raka-raka, tetapi baik
digunakan untuk nguyeg tulang (menghancurkan tulang waktu Ngben) untuk
sekah.
- Susuku
akan tumbuh menjadi biyu saba (pisang kapok) baik untuk kehidupan bayi
sebagai pengganti air susu ibunya.
- Kotoranku
akan tumbuh menjadi Tibah (mengkudu) tidak ada gunanya buat manusia selain
sekedar di pakai rujak.
Demikian beberapa sumber yang
menyebutkan jenis-jenis bungan yang di hindari penggunaannya atau dilarang
untuk digunakan sebagai sarana upacara yajna,
karena alasan tidak memiliki kesucian, tidak segar, layu, dan bekas
dimakan ulat, serta alasan lainnya.
Fungsi Bunga
Dalam
fungsinya sebagai saran upacara yajna, maka bunga untuk sarana persembaha,
sarana untukmemuja Hyang Widhi, sarana untuk menum-buhkan suasana kesucian,
sarana untuk dapat mengkonsen-trasikan diri, dan sebagai kelengkapan membuat
bebanten atau upakara.
Perlu diingat
bahwa bunga mempunya dua funggsi :
a. Sebagai wujud atau simbul Siwa atau Hyang Widhi (Sang Hyang
Puspadanta), seperti cerminan mantra berikut ini ;
“ Oý
puspa dantaya namah” (Wedaparikrama 46).
Dalam sembahyang bunga diletakan pada ujung kedua jari tengah paling atas (puncak) dan cakupan
tangan berada diatas ubun-ubun. Setelah usai menyembah bunga di taruh diatas
ubun-ubun atau juga bias di sumpangkan
ditelinga yang bermakna sebagi simbul Siwa atau Hyang Widhi.
b. Sebagai sarana persembahan atau pemujaan, karena
bunga dipakai banten atau sarana upakara yang di persem-bahkan kepada Hyang
Widhi beserta manifestasinya dan roh suci leluhur.
Memperhaatikan tentang arti dan
fungsi bunga dalam upacara yajna, maka sesungguhnya dari upakara yajna atau
bebanten yang dipersembahkan sebagai sarana pemujaan, antara lain merupakan
cetusan hati manusia (umat Hindu) untuk menyatakan terima kasihnya kehadapan
Hyang Widhi, dimana perasaannya itu diujudkan dengan isi dunia yang berupa:
air, api, bunga, buah-buahan, dan sebagainya; merupakan perwujudan Hyang Widhi
Wasa dengan manifestasinya; merupakan alat konsentrasi dan juga upakara yajna
atau bebanten merupakan pelajaran untuk memuja Hyang Widhi Wasa dengan
kemahakuasanya untuk menuntun dan memberikan anugrah kepada Umat Hindu.
- Get link
- X
- Other Apps
Popular Posts
Posted by
SUBHATMA
wangsa, soroh, kasta dan warna di Bali
- Get link
- X
- Other Apps
Posted by
SUBHATMA
BUNGA YANG BOLEH DIGUNAKAN UNTUK YADNYA
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment