Skip to main content

Featured

pertama di indonesia

 

BUNGA DALAM HINDU





BUNGA DALAM HINDU

A. Pendahuluan
            Bunga merupakan sarana pokok dan sangat banyak digunakan dalam membuat  yajna. Sarana berupa bunga memiliki peranan yang sangat penting untuk keleng-kapan dan kesempurnaan suatu persembahan atau yajna, baik yang digunakan untuk pelaksanaan yajna setiap hari atau nitya karma, maupun untuk keperluan yajna dalam waktu-waktu tertentu atau  naimitika karma. Kalau kita perhatikan kaitannya dengan pelaksanaan Panca Yajna, bunga banyak digunakan dalam upakara  banten, sesajen atau upakara yajna.
            Kemudian dalam kepentingan yang lainnya, bunga juga dipakai sebagai suatu hiasan untuk menumbuhkan suasana keinda-han dan menciptakan suasana kenyamanan dalam suatau kegiatan tertentu, baik dalam lingkungan keluarga, aktifitas kemasya-rakatan, kegiatan hiburan, kegiatan hari raya nasional, kegiatan pesta perkawinan, kunjungan  pada tempat-tempat tertentu, kunjungan kenegaraan, dalam percintaan, kedukaan, ziarah ke kuburan dan seba-gainnya.
            Dalam kemajuan tehnologi dan ilmu pengetahuan dewasa ini yang sangat pesat, kebutuhan akan bunga semakin banyak digunakan oleh masyarakat, walaupun dalam penggunaannya tidak berkaitan dengan  kepentingan upacara agama. Dalam perkembangan pariwisata saat ini yang bunga juga di perlukan dalam jumlah besar yang digunakan untuk perhiasan .  sungguh banyak manfaat dan kegunaan bunga dalam kehidupan bagi manusia. Demikian juga di dalam kehidupan bagi umat Hindu, bunga memiliki nilai relijius, nilai spiritual dan nilai kesucian yang sangat tinggi.
            Bunga yang digunakan untuk keperlu yajna atau persembahan, bukanlah bunga yang sembarangan atau bunga yang diperoleh asal ada atau asal dapat, tetapi bunga yang dipilih khusus sesuai dengan sumber-sumber sastra suci dalam ajaran agama Hindu. Menyimak makna sebuah sloka suci  Bhagavadgita IX.26

Patraým puûpam phalaý toyaý
Yo me bhaktyã prayacchati,
Tad ahaý bhakty-upahåtam
Asnãmi prayatãtmanaá.

Siapapun  yang dengan sujud bhakti kepada-Ku mempersembahkan sehelai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan, setetas air, aku terima sebagai bhakti persembahan dari orang yang berhati suci.

            Menyimak makna sebuah sloka suci dalam kitab suci Bhagavadgita di depan, ada ditegaskan penggunaan bunga sebagi sarana dalam upacara yajna. Dalam sloka tersebut ada tersurat kata puspam yang maksudnya adalah bunga, yang di gunakan sebagai sarana suci dalam upacara yajna Istilah lain dari bunga adalah puspa, kembang, sekar dan ada juga menyebut nama kusuma.
            Puspa atau kembang merupakan wujud benda yang disuguhkan sebagai cara menunjukkan perasaan yang dapat memberikan kepuasan. Puspa atau kembang merupakan sarana untuk menyampaikan cetusan hati dan rasa bhakti kepada Hyang Widhi Wasa dengan mempersembahkan upakara sebagai wujud yajna .
            Sebagai landasan utama dalam menghaturkan persembahan adalah ketulusan atau kesucian hati yang disertai dengan cinta kasih. Walaupun persembahannya sederhana yaitu dengan sekuntum bunga, apabila landasan kesucian dan cinta kasih yang menyertainya, maka persembahan yang  demikianlah yang diterima oleh Hyang Widhi.
            Kemudian sebaliknya, apabila memiliki kemampuan untuk mempersembahkan yang serba banyak, serba  mewah, serba meriah, serba semarak, juga tidak ada salahnya, sepanjang semua persembahan tersebut merupakan persembahan yang terhormat, persembahan yang dilandasi oleh rasa ikhlas dan suci, tentulah baik pahalanya, karena Hyang Widhi dapat menerima persembahan tersebut  yang disertai dengan kesadaran yang tinggi, bukan sifatnya pamrih yang semata-mata untuk menerima balasanya. Juga bukan merupakan suatu persembahan yang sifatnya paksaan, bukan juga persembahan untuk mewujudkan rasa gengsi dengan jorjoran karena status social yang dimiliki. Suatu persembahan akan dapat diterima  dengan terpuji, bilamana kesederhanaan serta kesemarakan disertai oleh pendalaman maknanya dan berlandaskan pada konsep kebenaran atau dharma.

Ayam yajño bhuvanasya nàbhiá
                          Yajurveda XXIII.62.
(Yajña-Nya adalah pusat (penciptaan dan pemeliharaan) alam semesta).

Tasmãd yajñãt sarvahuta åcaá sãmãni jajñire, chandãýsi jajñire tasmãd yajus tasm­ãd ajãyata.
                   Yajurveda XXX.7
Dari Tuhan Yang Maha Agung dan kepada-Nya umat manusia mempersembahkan berbagai yajña dan dari pada-Nya muncul Ågveda dan Sãmaveda. Dari pada-Nya muncul Yajurveda dan Sãmaveda.

”Saha yajñahprajâh srtva puro’vâca prajâpatih,
anena prasavisya dhavam esa vo’dtvista kâmadhuk”.
Bhagawatgita III. 10
Terjemahannya :
”Pada jaman dahulu Prajapati (Tuhan Yang Mahaesa) menciptakan manusia dan alam semesta atas dasar Yadnya, selanjutnya bersabda : ”Dengan ini engkau akan berkembang dan menjadikannya sebagai Kamadhuk (yang memenuhi keinginanmu).
Puruûa  evedaý  sarvaý
yadbhùtaý yacca bhavyam,
utàmåtatvasesà  no
yadannenati rohati.
Ågveda X.90.2.
(Tuhan sebagai wujud kesadaran agung  merupakan asal dari segala yang telah dan yang akan ada.  Ia adalah raja di alam yang abadi dan juga di bumi ini yang hidup dan berkembang dengan yadnya)

            “ Memang didalam kitab Rg. Weda kita jumpai teori yajna, dimana Maha Purusa dalam penciptaan didunia ini. Ia lakukan melalui yajna dan yang dipergunakan sebagai yajna adalah badanya sendiri. Pengorbanan yang tertinggi adalah kurban yang dilakukan dengan mengorbangkan diri sendiri. Tetapi  kalau diperhatikan lebih lanjut, apapun juga yang dijadikan kurban dalam upacara yajna itu adalah  tidak lain dari pada-Nya, karena Maha Purusa pada permulaan ciptaannya menjadikan semua ini dengan jalan berkurban yang berasal dari dirinya sehingga dengan demikian dunia dan seisi alam ini identik dengan-Nya.

B. Pengertian
            Unsur isi perlengkapan upakara samskara atau yajna yang banyak digunakan dalam kehidupan beragama Hindu adalah kembang atau puspa yang merupakan bentuk sesajen yang paling mudah dan paling murah. Puspa adalah benda yang di persembahkan sebagai cara menunjukan perasaan yang dapat mmberikan kepusan. Yang penting ialah bahwa perbuatan itu akan dapat memberikan rasa puas pada diri seseorang yang ingin menyampaikan perasaannya. Bentuk yang lebih komplit ialah dengan menambah jenis korban itu dalam bentuk hasil bumi lainnya.  
            Didalam mantra Wedaparikrama, ada mantra untuk puspa aksata dan gandha, masing-masing berbunyi sebagai berikut :

“Oý puspa-dantaya namah (puspa)
Oý kum kumara wijaya naham (aksata)
Oý Cri Gandhecwari- amrtebhyo namah swaha (gandha)”
Yang di maksud dengan puspa-danta ialah Ciwa, gelar yang di berikan kepada ciwa. Dari mantra di atas, penggunaan kembang atau bunga bukan lagi sebagai alat, tetapi sebagai lambang siwa yang tidak berbeda dari pada-Nya.
Aksata atau biji-bijian berupa beras adalah lambang benih (biji). Kumara adalah putra siwa. Aksata adalah hasil satu ciptaan yang tidak lain adalah ciptaan-Nya.
Gandha adalah bau harum, yang berasal dari kembang atau bunga dan biji-bijian itu. Gandha adalah sifat yang tidak terpisah. Gandha diumpamakan sebagai amrta (lambang kehidupan yang abadi). Gandha adalah amrta yang didalam mantra diatas dihubungkan dengan siwa sebagai Iswara,” (baca Wedaparikrana,Gde pudja, M.A., S.H :46 -47).
Dari mantra di atas yaitu mantra puspa, perlu di ingat bahwa puspa di mak-sudkan sebagai wujud dari Syang Hyang Puspa-danta merupakan gelar Sang Hyang Siwa atau Hyang Widhi Wasa. Dengan demikian, adanya bunga puspa sebagai lambang siwa dan adanya bunga atau puspa sebagai sarana persembahan sarana pemujaan kehadapan Hyang Widhi (Bhagavadgita, IX, 26)
Berdasarkan sumber-sumber sastra Agama Hindu menegaskan bahwa perlunya melakukan persembahan dengan sarana yang di benarkan oleh ajaran agama  Hindu serta yang memiliki nilai kesucian.

            Dalam beberapa naskah keagamaan ada di jumpai penjelasan mengenai bunga yang memiliki arti dan makna tertentu, seperti bunga sebagai perlambang restu dari Hyang Widhi Wasa, bunga perlambang jiwa alam pikiran, dan bunga merupakan sarana upacara keagamaan atau sarana upacara yajna yang dilaksanakan oleh umat Hindu.

a. Dalam Kekawin Ramayana, adanya bunga Gandha Kusuma  perlambang restu Hyang Widhi terhadap Sang Rama ketika berperang menumpas ketidak benaran atau adharma, maka Sang Rama direstui dengan di jatuhi hujan bunga yang harum baunya.

b. Dalam Kekawin Arjuna Wiwaha, ada menegaskan dalam keberhasilan Sang Arjuna melakukan tapa, brata, yoga dan semadhi dan sebagai bukti Hyang Widhi merestui tapanya, maka secara tiba-tiba berhamburan hujan bunga Puspa Warsa yaitu hujan bunga sebagi lambang Dewa Siwa (Hyang Widhi) telah merestui tapanya sang Arjuna dengan menda-patkan anugrah Panah Pasupati, yang merupakan senjata lambang kekuatan dharma untuk  menumpas ketidak benaran atau adharma.

c. Dalam Kidung Aji Kembang bahwa Dewata Nawa Sanga di lambangkan dengan bunga Tunjung atau teratai yang berwarna sembilan sesuai dengan arah Asta Aiswarya atau Asta Dala, seperti Dewa Iswara arah timur dengan lambang  bunga tunjung putih, Dewa Mahesora ara tenggara dengan lambang bunga tunjung dadu, Dewa Brahma arah selatan dengan lambang bunga tunjung merah, Dewa Rudra arah barat daya dengan lambang bunga tunjung jingga, Dewa Mahadewa arah barat dengan lambang bunga tunjung kuning,  Dewa Sangkara arah barat laut dengan lambang bunga tunjung wilis atau bunga tunjung hijau, Dewa Wisnu arah utara dengan lambang bunga tunjung Hitam, Dewa Sambu arah timur laut dengan lambang  bunga tunjung  biru, dan Dewa Siwa arah tengah dengan lambang bunga tunjung warna lima atau panca warna.

d. Dalam naskah Dwijendra Tattwa men-jelaskan bunga teratai yang berwarna tiga: bunga teratai warna putih arah timur, bunga teratai warna hitam arah utara, dan bunra teratai warna merah arah selata. Ketiga jenis bunga teratai tersebut sebagai lambang Sang Hyang Tri Murti.

            Kemudian bunga juga sebagai lambang jiwa alam pikiran manusia. Dalam rangkaian upacaraa Pitra Yadnya kita menjumpai adanya penggunaan Sekarura yang merupakan campuran daun temen, 12 macam bunga, uang kepeng, dan beras kuning, sekaruru yang ini biasanya di taburkan mulai dari mayat itu di berang-katkan, dalam perjalanan sampai di kuburan. Sesungguhnya makna dari sekarura ini adalah sebagai pembuka jalan atau mele-paskan kegelapan roh dalam mencari jalan ke Sorga.
Dalm Mpu lutuk aben menye-butkan sebagai berikut :
ih kita sang ingaskara, limaku sira ngakih genah sira. Yan katiba ring tengahing dalan saget ketemu sira ana jurang parung mandeg pwa sira rumuhun, samburata beras catur warna. Elingakna apan jurang pinaka karman ta nguni duke urip”.

            Menyimak kisah cerita Hariwangsa, ada dikisahkan tentang ketulusan dan cetusan kasih Prabhu Kresna terhadap Dewi Rukmini dengan memberikan sekuntum bunga sebagai lambang kasih yang suci murni dan tiada duanya.
            Selanjutnya ada pula sebagai suatu ketegasan mengenai bunga melambangkan jiwa kepahlawanan dengan bunga kembang sepatu merah atau wirakusuma atau bunga yang gagah berani.
            Sedangkan mengenai arti atau makna bunga sebagai sarana keagamaan atau sarana upacara yajna, sangat pernting artinya dan memiliki makna yang sangat mulia, seperti : makna religius atau makna spiritual serta  makna kesucian. Penggunaan sarana bunga dalam upacara yajna sangat banyak kita jumpai.


Bunga Yang Bisa digunakan
Dalam berbagai upakara atau banten, bunga merupakan sarana pokok dan mengan-dung makna tersendiri sesuai dengan jenis upkara atau wujud bantennya. Untuk upakara  yajna perlu dipilih bunga yang baik untuk digunakan sebagai persembahan atau sarana pemujaan maupun dipakai sebagai sarana upacara yajna secara umum, antara lain: bunga yang mekar, bunga yang harum baunya, bunga yang indah warnanya, bunga yang tidak mudah  layu, bunga yang dalam keadaan segar atau bunga yang baru di petik, bunga yang tidak tua atau kering, serta bunga yang lainya yang memenuhi syarat-syarat kesucian. Perlu di ingat, bunga sebagai sarana dalam upacara yajna sebelum digunakan hendaknya terlebih dahulu diperciki tirtha pengelukatan agar terbebas dari segala kekotoran dan malapetaka. Jenis-jenis bunga yang baik untuk digunakan sebagai persembahan adalah jenis bunga yang dapat menghindari umatnya dari perbuatan –perbuatan dosa atau malapetaka, antara lain:

a    Dalam Kekawin Siswaratri Kalpa, menyebutkan sebagai berikut:
            “Menur, kenyeri arja kacubung, saha waduri putih, lawan kutat. Asoka saha  naga puspa hana tanguli bakula kalak macampaka, saroja biru, bang, putih. Sahananing kusuma halapan ing samangkana. Makadi samining majarja, sulasih panakaraning anggar cana sira”.
Yang artinya :
            Menuh, kenyeri, gambir raja, kecubung , serta meduri putih dan bunga kutat, asoka serta bunga cempaka. Seroja biru, merah, putih semuanya bunga-bunga hendaknya dipetik yang demikian. Sebagai pelaksanaan ppppmemuja pagi-pagi, bunga sulasih, sebagai sarana memuja baeliau (Siwa).
b    Dalam Lontar wariga Cemet, ada juga menjelaskan tentang bunga yang di bolehkan sebagai sarana upacara agama (upacara penebusan atma) serangkaian dengan upacara pitra  yajna, antara lain: Bunga Jepun, Sari, Sincer, pucuk pasat, Tulud Hyuh, Kwanta, Soka keeling, Kenyiri putih, Gambir Lima, Kabari walanda Syulan, Tiga kancu, Sedap malam, anggrek Wulan, Kamrakan, Gunggung Cina, Mawar, pucuk dadu, Tunjung Bang, Jepan Sudamala, Seruni putih, Anggrek Madu, Sarikonta, Temen, Sempiol, pucuk susun, Soka, Natar. Kuranta, kembang kuning, cempaka keeling, bunga gambir, Tunjur, Lungsur, Panca  Galuh Grayas, Sandat, Sokasti, cempaka kuning, Cempaka putih, Katrangan, Bunga parijata, pucuk Bang Lamba, Teleng biru, Menuh Susun, Angsana Wungu, Teleng Putih, Dause Gde, Medore putih, Sulasih harum, Tunjur Tutur, Sudmala, Tunjung Nilawati, Grana Petak, Gadung, dan bunga Monasuli ergilo

c. Dalam Naskah Siwagama dan menegaskan beberapa bunga yang dibolehkan untuk digunakan sebagai sarana upacara yajna, terutama untuk membuat “Puspalingga” serangkaian upacara pitra yajna yakni untuk memuja upacara pitara dan roh suci leluhur, terutama dalam upacara atma Wedana (Memukul atau Nyekar), antara lain :Bunga Medori Putih Dan Bambu buluh.

d. Dalam Naskah Dasanama menyebutkan tentang bunga yang memiliki mutu yang baik yang hendaknya dipilih sebagai sarana upacara yajna adalah bunga Tunjung atau bunga teratai. Bunga teratai atau bunga Tunjung dikaatakan bunga yang terbaik yang juga disebut Raja Kusuma atau rajanya bunga-bungaan. Ditegaskan pula, apabila bunga teratai Tunjung tidak ada, dapat pula memakai jenis bunga yang lainya, asalkan bunga penggantinya memiliki warna yang sesuai, suci, bersih dan tidak layu.

Di samping itu juga ada jenis bunga memiliki nilai yang utama dalam upacara yajna adalah bunga Ratna. bunga ratna sebagai bunga yang utama untuk memuja tuhan/Hyang Widhi Wasa atau sarana utama dalam upacara keagamaan. Bunga yang memiliki nilai keutamaan merupakan bunga yang dapat menarik daya pesona yang memandangnya, dengan demikian  bunga yang demikian itulah yang dapat digunakan sebagai sarana pemujaan.
            Demikianlah sekilas uraian mengenai jenis bunga yang baik dan bunga yang di perkenankan untuk di gunakan sebagai sarana upacara yajna.

Bunga Yang Dilarang  Untuk Yajna
Dalam pelaksanaan samskara upacara yajna tidaklah semua bunga dapat di gunakan, atau bunga yang asal dapat karena penggunaan bunga harus tetap mengacu pada nilai relijius, nilai spiritual dan nilai kesucian dan dipilih khusus sesuai dengan sumber-sumber sastra suci dalam ajaran agama Hindu.
 Dalam Agastya Parwa menegaskan bagaimana keutamaan bunga yang kita persembahkan sebagai sarana pemujaan. Adapun bunyi sloka sebagai berikut :

            Kunan ikan stri mahala tanpa pirak, tanpa janma, tan wruh maniwi swami, mogha kinasihan denin laki wisesa manke sila nika nuni; jnanabhaktis tu nathe ya, bhkati maswami nuniweh ri dewata ika nuni, ndatan tepet bhakti niki, tan upakara phala nin bhaktinya resep. Dumehnya wirupa mwan tanpa janma. Tan wruh amahelepa silanya nuni, agelem amujeken kembang tan yogya pujakena, tan aradin, olah bwat jawanya, apan samanke kemban tan yogya pujakena rin bhattara”.

Yang artinya:
Wanita buruk rupa, tidak kaya, tidak bangsawan, tidak bias melayani suami tetapi di sayang oleh laki-laki utama. Perbuatannya dahulu demikian; ia itu bhakti kepada suami, bhakti kepada bhatara, tetapi bhaktinya tidak tepat, karena tanpa upakara. Itulah yang menyebabkan ia buruk rupa dan tidak bangsawan, sifatnya dahulu ia tidak tahu menjadikan tingkah lakunya  sopan dahulu (ia) gemar mempersembahkan bunga yang tidak  patut dipersembahkan, tidak bersih dalam mengolah biji-bijiannya, karena kembang yang tidak patut dipersembahkan kepada bhatara.
Menyimak makna sloka tersebut di atas, maka dapat ditegaskan disini, walaupun sungguh besar rasa bhakti kehadapan Hyang widhi dan kepada sesam ciptaan-Nya, tetapi rasa bhakti tersebut tidak disertai denga wujud persembahan berupa upakara yajna maka kuranglah bermakna cetusan rasa bhakti itu. Demikian pula selanjutnya walaupun sudah mewujudkan rasa bhakti itu kepada Hyang Widhi dengan persembahan upakara yajna, tetapi persembahan yang kita haturkan kehadapan-Nya tidak pada tem-patnya, mempersembahkan hal-hal yang tidak patut di persembahkan, memper-sembahkan saran yajna yang tidak suci, persembahan itu camah (kotor), mempersembahkan sarana yadnya dari hasil jarahan, mencuri menipu (yang bukan miliknya), termasuk juga disini mempersembahkan bunga /kembang /puspa /sekar yang tidak baik sesuai dengan landasan dharma, maka tidak ada maknanya persembahan tersebut. Perlu di ingat bahwa rasa bhakti ke hadapan Tuhan tentunya melalui sarana upakara yajna yang memiliki nilai kesucian sesuai dengan jenis dan makna dari yajna itu sendiri.
Berikut ini akan di kemukan pula beberapa uraian yang membahas tentang jenis bunga yang dilarang dalam pengguna-annya sebagai sarana upacara yajna berda-sarkan ajaran agama Hindu.

a.   Dalam Naskah Agastya Parwa, mene-gaskan :
”Kalinanya: nihan ikan kembah tan yogya pujakena rin bhatara; kembah huleren, kembang rurutan inunduh, kembang semuten, kembang laywan-laywan naranya alewan mekar, kembang mungah rin sema. Nahan tal lwir nin kemban tan yogya pujakena de nikasan sattwika. Kembang utama ta pujaken ira, maran saphala rupa nira, apan magaweya janma lawan rupa ikan wwan tuhaganamuja naranya”.
Yang artinya :
            “Inilah bunga yang tidak dapat di persembahkan kepada bhatara, bunga yang berulat, bunga yang gugur tanpa di guncang, bunga yang berisi semut, bunga yang layu yaitu bunga yang lewat masa mekarnya, bunga yang tumbuh dikuburanya. Itulah jenis-jenis bunga yang tidak patut di persembahkan agar supaya wajahnya sesuai dengan yang diharapkan, sebab orang yang selalu memuja tersebut akan membentuk kelahiran wajahnya.

b. Dalam naskah Siwagama, ada mene-gaskan tentang bunga yang tidak baik atau dilarang penggunaannya sebagai sarana upacara yajna, khususnya di kaitkan dengan pelaksanaan Dewa Yajna dalam fungsinya untuk sarana memuja kebesaran Hyang Widhi, antara lain bunga turuk, umung atau bunga kedukduk, yang konon menurut mitologi disebut bunga lalat, baunya yang tidak harum dari bunga tersebut kotor atau tidak suci.

c. Menurut naskah Yama Purana Tattwa, menyebutkan mengenai bunga yang dilarang memakainya yaitu bunga yang keadaannya cemer atau bunga yang tidak suci, seperti bunga yang digigit belalang, bunga yang ada bekas dimakan ulat. Bunga yang seperti itu dilarang dari pemakaiannya untuk membuat puspa linga maupun untuk yajna yang lainnya.

d. Dalam naskan Aji Janataka, menegaskan mengenai jenis bunga yang dilarang penggunaannya sebagai sarana dalam pemujaan. Sesuai naskah terarsebut jenis bunga yang dilarang antara lain jenis bunga jempiring alit dan jenis bunga silikonta. Kedua jenis bunga tersebut konon menurut mitologinya tidak mendapat waranugraha dan tidak mohon penglukatan Hyang Siwa, sehingga men-dapat kutukan untuk dilarang digunakan dalam penggunaanya sebagai sarana pemujaan ke hadapan Hyang Widhi.

            Didalam Siwa Puran juga ada di sebutkan bahwa bunga Ketaki (cempaka) tidak boleh digunakan untuk memuja Dewa Siwa  karena mendapat kutukan; dari Dewi Sita mengutuk bunga Ketaki bahwa bunga itu tidak akan pernah diterima oleh siwa sebagai persembahan pada beliau; Hal ini dijelaskan oleh Rsi Romaharsana sebagai berikut:
            Ayah Rama, Dasaratha, suatu kali meminta putranya untuk tinggal di hutan selama empat belas tahun. Maka Rama dan istrinya serta adiknya Laksmana pergi kehutan. Tiga orang itu tinggal di sungai Palgu. Kemudian terdengarlah kabar bahwa Dasaratha mininggal karena sedih dan harus dilakukan sebuah upacara Sraddha  untuknya.
Maka Rama kemudian menugaskan Laksmana pergi ke desa terdekat untuk mencari bahan-bahan upacara. Setelah cukup lama Laksmana belum juga kembali kemudian Rama pergi untuk mencari bahan-bahan itu sekaligus mencari Laksmana. Namun Rama juga tak kunjung dating. Saat itu sudah sore dan upacara harus segera dilakukan. Maka dalam keadaan putus asa, Sita melakukan upacaraa itu sendir. Dia melakukan permandian di sungai Palgu sambil menyalakan sebuah lampu minyak kelapa. Dia juga membuat persembahan (panda) pada sang raja yang telah wafat.
Namun setelah selesai melakukan upacara itu, erdengarlah suara tanpa sumber yang berkata  ”Sita, kau terberkati, kami puas padamu” Dalam ketakjuban, Sita melihat sebuah tangan gaib di udara menerima persembahannya.
“Siapakah anda” Tanya Sita.
”Aku adalah ayahmertuamu” jawab suara itu. ”upacara kremasiku telah berjalan lanca. Aku telah menerima persemba-hanmu.” Tapi Rama dan Laksmana tidak akan percaya jika aku ceritakan hal ini. Mereka tidak akan percaya ada tangan gaib yang muncul dari udara untuk mengambil persembahan ini.”
Sementara itu Rama dan Laksmana telah tiba dan berkata  ”Sita masaklah makanan, waktu kita tinggal sedikit. Kita harus menyelesaikan upacara kremasi  ini sebelum malam.”
Sita kemudian memberitahu mereka tentang kejadian itu dan kedua bersaudara itu tidak mempercayainya. Mereka malah mentertawakannya dan mengangapnya berbohong. Sita kemudian memanggil keempat saksinya. Namun keempat saksi itumalah menyangkal telah melihat peristiwa itu. Maka tanpa kata-kata lagi Sita memasak makanan dan Rama membuat persembahan untuk leluhurnya.
Kemudian terdengar suara dari langit ”mengapa kalian memanggilku? Sita telah membuat kami berkenan”
Aku tidak bias mempercayai hal ini, kata Rama, itu benar, kau bias menanyakan pada dewa matahari, kata suara gaib itu.
Maka Dewa Matahari memberikan keterangan yang mebenarkan Sita. Ini membuat Rama dan Laksmana  malu dan kagum atas kebajukan Sita. Dan Sita keempat saksi palsu tadi. Sungai Palgu dikutuk agar selalu mengalir di bawah tanah. Bunga Ketaki (Cempaka) bahwa bung aitu tidak akan pernah diterima oleh siwa sebagai persembahan pada beliau. Sapi dikutuk agar mulutnya selalu kotor (tidak suci/berwarna hitam), karena mahluk itu berbohong dengan mulutnya, sedangkan bagian belakaqng sapi itu juga akan selalu bersih (putih). Kemudian api dikutuk agar selalu melahap benda apa saja yang ada di dekatnya. Oleh karena itulah bunga cempaka tidak bias lagi dipakai untuk memuja Siwa.
Disamping itu juga Maharsi Narada mengutuk agar bunga cempaka tidak pernah diterima lagi menjadi  . persembahan untuk dewa siwa.

Bunga Mitir, Tebu Ratu, Tibah dan Pisang Saba tidak baik untuk aturan . hal ini ada sebuah mithologi seperti  diceritakan setelah meninggalnya Ida Sang Pandu, Dewi Kunti berkeinginan mengadakan upacara (yadnya) besar. Rencana ini diketahui oleh pihak Korawa tertama Duryadhana yang selalu iri dengan kemasyuran pandawa, terus berkeinginn untuk membencanai/menggagalkan upacara tersebut. Maka dia mengadakaan tapa dan memohon kepada Dewi Durga. Dan Dewi Durga menganugrahi keinginannya dnengan mengutus wadwa yang bernama Bhutakala Sakti yang menghancurkan dan merusak yadnya yang dilakukan oleh Pandawa. Karana sangat sakti dan tangguh sang Bhutakala sehingga tak bias ditaklukan oleh Pandawa, yang menyebabkan pandawa lari dan keterlibatan Sri Kresna dengan senjata Cakranyapun tidak mampu mengalahkan bhutakala tersebut.
Sehingga Sri Kresna Mampu mengetahui bahwa Bhutakalatersebut adalah anugrah dari Betari Durga untuk merusak upacara sang Pandawa. Sehingga Sri Kresna mendengar sabda “ Dewa-dewa Sri Kresna tidak pantas dewa lari dari peperangan melawa I Bhutakala. Sehingga trompet perarang dan trompen yadnya Dwarawti di bunyikan yang patut meniup adalah Nakula dan Sadewa. Begi tubunyi tropet perang dan trompet yadnya sang sangat gemuruh makan I Bhutakala berlari merasi diri akan kalah dalam mengahadapi Krisna dan sri Kresna terus mengejar untuk membunuh I Bhutakala dan Dewi Durga.
Pada saat itu Dewa Siwa sedang melaksanakan tapa tapi karena bising dengan suara trompet dan keributan perang tersebut, maka Dewa Siwa mendekati Sri Kresna dan bertanya. Sri Kresna menyampaikan permasalahannya dan berniat memohon anugrahuntuk membunuh Durga, Dewqa Siwa bersabda tidak akan dewa mampu untuk membunuh Dewi Durga tapi jika keras keingunanmu untuk membunuh Dewi Durga ini tongkat pakai, tetapi harus Nakula yang melaksanakan.
Cepat cerita Nkula sudah sampai dan bertemu dengan Dewi Durga dan tahu akan maksud dan tujuan kedatangannya, dan bersabda: “wahai anaku, aku tau akan dibunuh tetapi sebelum aku mati ada bisama adari aku :
  1. Darahku akan tumbuh menjadi bunga Mitir, tidak boleh di jadikan aturan.
  2. tulangku akan menjadi tebu ratu, tidak bias dijadikan raka-raka, tetapi baik digunakan untuk nguyeg tulang (menghancurkan tulang waktu Ngben) untuk sekah.
  3. Susuku akan tumbuh menjadi biyu saba (pisang kapok) baik untuk kehidupan bayi sebagai pengganti air susu ibunya.
  4. Kotoranku akan tumbuh menjadi Tibah (mengkudu) tidak ada gunanya buat manusia selain sekedar di pakai rujak.


Demikian beberapa sumber yang menyebutkan jenis-jenis bungan yang di hindari penggunaannya atau dilarang untuk digunakan sebagai sarana upacara yajna,  karena alasan tidak memiliki kesucian, tidak segar, layu, dan bekas dimakan ulat, serta alasan lainnya.

Fungsi Bunga
            Dalam fungsinya sebagai saran upacara yajna, maka bunga untuk sarana persembaha, sarana untukmemuja Hyang Widhi, sarana untuk menum-buhkan suasana kesucian, sarana untuk dapat mengkonsen-trasikan diri, dan sebagai kelengkapan membuat bebanten atau upakara.

Perlu diingat bahwa bunga mempunya dua funggsi :
a. Sebagai wujud atau simbul Siwa atau Hyang Widhi (Sang Hyang Puspadanta), seperti cerminan mantra berikut ini ;
Oý puspa dantaya namah” (Wedaparikrama 46).
Dalam sembahyang bunga diletakan pada ujung kedua  jari tengah paling atas (puncak) dan cakupan tangan berada diatas ubun-ubun. Setelah usai menyembah bunga di taruh diatas ubun-ubun  atau juga bias di sumpangkan ditelinga yang bermakna sebagi simbul Siwa atau Hyang Widhi.
b. Sebagai sarana persembahan atau pemujaan, karena bunga dipakai banten atau sarana upakara yang di persem-bahkan kepada Hyang Widhi beserta manifestasinya dan roh suci leluhur.

            Memperhaatikan tentang arti dan fungsi bunga dalam upacara yajna, maka sesungguhnya dari upakara yajna atau bebanten yang dipersembahkan sebagai sarana pemujaan, antara lain merupakan cetusan hati manusia (umat Hindu) untuk menyatakan terima kasihnya kehadapan Hyang Widhi, dimana perasaannya itu diujudkan dengan isi dunia yang berupa: air, api, bunga, buah-buahan, dan sebagainya; merupakan perwujudan Hyang Widhi Wasa dengan manifestasinya; merupakan alat konsentrasi dan juga upakara yajna atau bebanten merupakan pelajaran untuk memuja Hyang Widhi Wasa dengan kemahakuasanya untuk menuntun dan memberikan anugrah kepada Umat Hindu.

JRO GEDE DWIJA DAUH 




Comments

Popular Posts