Search This Blog
Kita semua adalah pelayan; biasa jadi pelayan keinginan sendiri, pelayan orang lain, pelayan masyarakat atau pelayan Tuhan ; jadilah pelayan yang mampu menyelamtkan diri di dunia dan akhirat
Featured
- Get link
- X
- Other Apps
Posted by
SUBHATMA
DALEM WATURENGGONG MEREVITALISASI AGAMA HINDU DI BALI
PERAN RAJA DALEM WATURENGGONG
DALAM MEREVITALISASI PELAKSANAAN AGAMA
HINDU DI BALI
(PERSFEKTIF RELIGIUSITAS AGAMA HINDU
DI BALI)
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang
Dalem
Waturenggong diangkat sebagai raja muda sejak tahun 1458, dan setelah ayah
bliau wafata (Ida Dalem Smara Kepakisan) dan berkeraton di Suwecapura. Pada masa
ini kerajaan Majapahit mulai runtuh sehingga setiap adipati di seluruh
nusantara melepaskan didiri dari naungan Majapahit, dan membentuk kerajaan yang
berdiri sendiri. Demikian juga dengan Bali membentuk kerajaan Bali yang berdiri
sendiri dan berpusat di Gelgel.
Dengan
berdiri sendirinya kerajaan Bali yang terlepas dari pengendalian kerajaan
Majapahit tentu akan membawa pengaruh yang sangat besar dalam perubahan
kebijakan yang tentunya tergantung pada kebijakan Raja sendiri yang mulai
mencari bentuk sendiri dari pemerintahan terdahulu. Kalu saya ilustrasikan seperti
pemerintahn Indonesia dari Orde Baru yang sentralistik menjadi otonomi, yang
banyak menimbulan perbedaan-perbedaan pemerintahan. Demikian juga dengan raja Bali
yang masih menggunakan sistim kerajaan terdahulu.
Agama Hindu
yang berkembang di Nusantara dalam pelaksanaannya hampir beraneka ragam antara
daerah satu dengan daerah yang lain di Indonesia, dalam skop yang lebih kecil
yang ada di Provinsi Bali saja begitu beraneka ragan dengan naungan Desa, Kale,
Patra; Desa Mawacara, sehingga terkesan berbeda dalam kesatuan di bawah naungan
Veda.
Agama Hindu di Bali
tidak terlepas dari sejarah perkembangan kerajaan-kerajaan yang ada di Bali
dari masa kemasa, yang sangat mempengaruhi cermin aktifitas agama Hindu yang
ada di Bali. yang paling mendasar membawa perubahan baik dari segi Adat, Agama,
Sosial, budaya di Bali yang kita wirisi sekarang banyak mengalami perubahan
pada masa pemerintahan kerajaan Dalem Waturenggong.
Realita
pelaksanaan agama Hindu di Bali pada saat ini dalam permukaan keliahatan begitu
semarak, rukun, solid dan penuh dengna glamor, namu didalamnya bagaikan api
dalam sekam, yang cepat atau lambat akan muncul dipermukaan atas nama Agama Hindu.
Pelaksanaan
Agama Hindu di Bali pada masa Pemerintahan Dalem Waturenggong mempengaruhi juga
kondisi sekarang baik secara positif maupun negatif seperti catur warna di
kitab Veda dengan catur Kasta yang ada di Bali hingga saat ini masih menjadi
diskusi di masyarakat termasuk orientasi keagamaan dan sspiritual di
masyarakat.
Tiap-tiap
periode kerajaan di Bali membuat kebijakan yang harus disepakati oleh seluruh
rakyad di wilayah teritorial kekuasaan kerajaan tersebut sehingga setiap
kebijakan itu juga membawa dampak hingga saat ini. tapi hampir setiap kebijakan
budaya yang dia ambil saat itu mempunyai
makna tertentu dan dengan pemahaman terhadap makna tersebut, umat Hindu
mengembangkan apresiasi terhadap budaya tersebut, yang pada akhirnya dapat
meningkatkan úraddhà dan bhakti umat dan akhirnya menuntun tingkah
lakunya dalam kehidupan ini. Untuk dapat memahami perkembangan agama Hindu yang
ada di Bali saat ini tidak terlepas dari pengaruh Kekuasaan Dalem
Waturenggong tersebut, sangat diperlukan
kajian terhadap sumber-sumber ajaran agama Hindu baik yang terhimpun dalam
kitab suci Veda maupun susastra Hindu lainnya.
Demikianlah penelitian ini dimaksudkan untuk mengajak umat Hindu untuk
lebih memahami keberadaan Hindu yang berkembang di Bali hingga saat ini.
Seiring dengan derasnya arus modernisasi yang
kemudian diikuti oleh globalisasi diberbagai belahan dunia, telah membawa
perubahan yang begitu cepat, mendalam dan radikal. Perubahan itu tidak hanya
terjadi pada ranah kehidupan sosial, merambah pula pada ranah organisasi dan
kehidupan agama. Terciptanya ruang global mengakibatkan munculnya
gagasan-gagasan baru disertai dengan komunitas-komunitas baru yang saling
berinteraksi secara dialektis melalui proses saling mempengaruhi. Proses saling
mempengaruhi antar satu kelompok kebudayaan dengan kelompok lainnya akan
melahirkan proses transformasi diantara kelompok yang berinteraksi tersebut.
Transformasi yang terjadi sebagai akibat interaksi merupakan sebuah kebutuhan untuk dapat
beradaptasi guna kelangsungan hidup.
Sehubungan dengan modernisasi, Robert W. Hefner
memiliki pandangan bahwa dinamika agama
dan masyarakat di abad modern memiliki dua karakteristik. Pertama, terjadinya penyebaran ide-ide demokrasi untuk
masyarakat dan kebudayaan yang berbeda di seluruh dunia. Kedua, penampakan kembali
isu-isu etnik dan agama dalam urusan publik. (dalam Jamil, 2008:7).
Bertitik tolak dari pandangan diatas ternyata ada
benarnya. Munculnya gerakan-gerakan
keagamaan baru yang diistilahkan dengan
new religious movements atau biasa di kenal dengan gerakan new age telah menguatkan pandangan
tersebut. Termasuk gerakan yang terjadi di Bali
yang mayoritas penduduknya memeluk agama Hindu, tidak dapat dipisahkan
dari pengaruh modernisasi dan globalisasi yang melanda umat-umat beragama lain
dimuka bumi ini. Kehadiran imperialis Belanda di Bali telah berkontribusi
sangat besar ketika diselenggarakannya pendidikan bagi kaum pribumi. Institusi
pendidikan yang dibangun ini telah membawa dampak yang luar biasa dan
menginspirasi serta merevolusi umat Hindu di Bali untuk membangun pentingnya geo-sentimen, sosio sentimen/etno
sentimen termasuk pula teo sentimen. Terakumulasi ketiga sentimen ini
menjadikan orang Bali sadar akan perjuangan untuk menyebar-luaskan
perinsip-prinsip neo humanisme baik secara eksternal maupun internal. Secara
eksternal munculnya pergerakan non kooperatif dengan penjajah. Secara internal
dilakukan revitalisasi, reformasi serta restorasi untuk mengembalikan tatanan
hidup beragama dan berbudaya yang
berwatak sosialistik dan egaliter termasuk religiusitas pelaksanan agama Hindu
di Bali
Konstruksi prinsip-prinsip neo
humanisme dengan mengangkat issu etnik terjadi sebagai reaksi kebijakan
kolonial Belanda pada tahun 1910 yang membuat keputusan resmi menjunjung konsep kasta sebagai fondasi
prinsipil masyarakat Bali. Keputusan ini secara resmi melegalkan dan meneguhkan
hierarki kasta serta seperangkat aturan menyangkut hubungan kasta dan hak
istimewa kasta, yang sebelumnya tak pernah ada dalam praktik. Keputusan itu diambil
sebagai konsekuensi didirikannya mahkamah adat Raad van Kerta yang mana
keanggotaan mahkamah itu di dominasi oleh pendeta (baca; pedanda). Terciptanya sistem peradilan itu memperkuat karakter Hindu
masyarakat Bali dan memperkenalkan ketaatan legal taraf tinggi dalam sistem
kasta.
Selain itu demi memenuhi tendensi
yang sangat elitis dalam sistem peradilan pribumi yang disponsori negara
/pemerintah kolonial, Belanda membantu
pegangan para hakim Raad van Kerta itu dengan menterjemahkan teks-teks hukum keagamaan
seperti; Agama, Adigam, Purwa Agama dan Kutara
Manawa yang ditulis dalam bahasa jawa kuno. Ternyata para pedanda jarang yang bisa membaca
teks-teks tersebut. Situasi sangat memprihatikan dengan “kebobrokan” yang nyata
dalam pemahaman hukum. Dalam kata-katanya Korn:
“ Bukan saja
triwangsa diberi tempat yang terlalu
penting…tetapi juga sistem kasta itu sendiri … dilindungi sederet pasal, yang…
sangat jauh melampau para raja dan teks-teks hukum tempo dulu.”
Ini merupakan usaha Belanda untuk
menanamkan pengaruhnya melalui rekayasa tradisi
dalam rangka penciptaan tatananan hierarkis baru yang pasti, dimana
kekuasaan golongan kasta tertinggi lebih besar dari pada sebelumnya dan
terlebih lagi diabsahkan oleh struktur legal, ideologis, dan koersif negara
kolonial. Ini adalah contoh yang sangat mencengangkan tentang bagaimana
“tradisi” Bali direkayasa oleh negara kolonial Belanda ( Robinson, 2006:50-51).
Salah satu contoh konstruksi prinsip-prinsip neo humanisme
dengan mengangkat issu etnik adalah perjuangan Warga Pande Beng Gianyar tahun
1911 yang menolak kerja rodi serta perjuangan untuk kesetaraan pada lembaga diksa karena dianggap amada-amada ratu dan asisia-asisia, maka itu dilarang
menggunakan Sri Mpu sebagai pemuput upacara dan memberikat tirtha pangentas (Kerepun,2007:124).
Sejarah perjuangan kaum pinggiran
ini dilanjutkan oleh perkumpulan Surya Kanta sebagai segmen kelas menengah baru
yang berasal dari petani parekan yang
disebut jaba wangsa. Perkumpulan ini memainkan peranan penting di dalam
gerakan perlawanan terhadap hegemoni tri
wangsa di Bali yang bersifat eksklusif baik dibidang budaya lebih-lebih
keagamaan. Hal ini disebabkan selain oleh doktrin dewa-raja dan doktrin wangsa
juga oleh keputusan negara kolonial Belanda tentang kasta. Doktrin dewaraja, raja
dan ksatrya wangsa merupakan
representasi daulat kekuasaan kedewataan di bumi. Doktrin ini menempatkan tri wangsa sebagai pemegang modal
simbolik sekaligus politik.
Keterpinggiran kaum awam atau jaba wangsa dalam doktrin dewaraja sangat dirasakan sekali, tidak
ada tawaran akan adanya konsep dunia berbagi. Keselamatan atau salvation didefinisikan sebagai keteraturan dinyatakan
dalam sistem simbolik dan didominasi kaum iman sebagai pemegang kuasa agama
dalam hal ini adalah para pedanda.
Sementara bagi jaba wangsa tidak
perlu mendapatkan pencerahan, karena kebenaran merupakan klaim sepihak yang
merupakan milik tri wangsa. Kebenaran
agama telah dimonopoli melalui koersi negara maupun politik. Hal ini tentu akan
membawa konsekuensi pada putusan politik yang menguntungkan penguasa di satu
sisi dan merugikan rakyat yang notebene jaba
wangsa di sisi lainnya. Sikap menentang berarti melawan negara, apalagi
negara dikonsepsikan sebagai guru wisesa,
yang berimplikasi pada ketaatan bagi setiap warga negaranya. Kalaupun ada
perlawanan ataupun resistensi dilakukan secara tidak langsung yakni melalui
karya sastra dalam bentuk dongeng dan mitos dan sebagainya. Aliansi agama dengan negara akan menimbulkan
eksploitasi yang luar biasa terhadap konsep agama yang dijadikan senjata
pamungkas yang ampuh untuk menundukan rakyat dan mendatangkan azas manfaat yang
sebesar-besarnya bagi kepentingan penguasa politik dan penguasa agama.
Modernisasi dan gloBalisasi telah
berperan begitu banyak mengantarkan umat
Hindu menjadi rasionalis, serta menciptakan pandangan dan pemahaman terhadap
agamanya yang tidak hanya berhenti di dimensi statis juga mengalami
perkembangan diranah dimensi fungsional idiologis dan teologis bahkan sampai
pada dimensi pemerdekaan diri.
Kehadiran perkumpulan Suryakanta
telah melahirkan dialektika mengajak masyarakat Bali untuk melakukan
pembaharuan, meninggalkan tradisi yang feodal serta menerima perubahan sosial
dan ide-ide modernitas. Wacana-wacana yang bersifat kritis dan mengandung
kritik itu tentu mendapat tantangan dan sikap oposan dari kaum penganut tradisi lama pemilik modal
termapankan yang mengusung ideologi feodalisme. Kelompok ini menyebut dirinya
sebagai perkumpulan Bali Adnyana. Dalam pandangan kelompok ini bahwa Bali yang
otentik adalah Bali yang bertahan dengan warisan tradisi yang dimilikinya, Bali
yang tidak berubah. Ide-ide modernitas yang mulai melanda Bali , justru
dipandang sebagai ancaman terhadap warisan tradisi yang sudah lama berjalan.
Dalam mengahadapi kemajuan, Bali Adnyana cendrung untuk kemBali pada tatanan
sosial budaya yang telah mapan berjalan (Dwipayana,2005: xxi). Ide-ide Bali
Adnyana yang primordial ini menyegarkan ingatan akan konsep dan ide ajeg Bali.
Setelah Indonesia merdeka 17 Agustus
1945 dan Bali merupakan bagian dari NKRI, orang Bali harus menerima konsekwensi
politik, ketika Pancasila menjadi dasar negara. Pokok-pokok pikiran yang tersimpul
dalam isi sila-sila dari Pancasila menjadi semangat baru untuk memperjuangkan
kesetaraan atas dalil demokrasi.
Wacana-wacana mengenai identitas kultural dan religius yang mengakar
pada dekade 1920 an dan 1930 yakni
Suryakanta versus Bali Adnyana menjadi issu yang hangat dan tumbuh menjelma
menjadi gerakan demokratisasi, hal ditandai dengan bangkitnya etno religius
yaitu model keberagamaan yang ditentukan
berdasarkan pengakuan yang berasal dari keturunan yang sama. Dengan
meminjam istilah dari Mukhsin Jamil ( 2008:14) keberagamaan model etno religius
dapat dikatagorikan revitalisasi agama lokal (local religious revitalization ) yakni munculnya tradisi lama yang
berakar pada sosok atau figur yang diyakini sebagai leluhur , pendiri dinasti (Wamsa Karta) klan tertentu.
1.2 Rumusan
Masalah
Untuk
berhasilnya penelitian tentang Peranan Raja Dalem Waturenggong
Dalam erefitalisasi Pelaksanaan Agama Hindu Di Bali (Ditinjau Dari Persfektif
Religiusitas Agama Hindu Di Bali) Kiranya Beberapa Masalah Perlu Dirumuskan Dalam Proposal Penelitian Ini,
Antara Lain:
2.1 Bagaimana
Eksistesi Dalem Waturenggong Dalam Mervitalisasi
Pelaksanaan Agama Hindu Di Bali (Ditinjau Dari Persfektif Religiusitas Agama Hindu
Di Bali)
2.2 Bagaimana
Bentuknya Pelaksanaan Agama Hindu di Bali pada Masa Dalem Waturenggong Dalam Mervitalisasi
Pelaksanaan Agama Hindu Di Bali (Ditinjau Dari Persfektif Religiusitas Agama Hindu
Di Bali).
2.3 Bagaimana
Sesungguhnya Peranan Raja Dalem Waturenggong Dalam Mervitalisasi Pelaksanaan
Agama Hindu Di Bali (Ditinjau Dari Persfektif Religiusitas Agama Hindu Di Bali)
Dengan
rumusan beberapa masalah tersebut, peneliti akan lebih mudah menentukan obyek
yang akan diteliti dan dikaji untuk kemudian dianalisis dan dirumuskannya
kesimpulan sebagai hasil penelitian.
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitia tentang Peranan Raja Dalem
Waturenggong Dalam Mervitalisasi Pelaksanaan Agama Hindu Di Bali (Ditinjau Dari
Persfektif Religiusitas Agama Hindu Di Bali) dalam agama Hindu disusun mengandung beberapa tujuan antara lain:
1. Mendapatkan informasi yang jelas
tentang Dinamisasi Religiusitas
Masyarakat Hindu di Bali pada masa Pemerintahan Dalem Waturenggong beraneka
ragam di dalam agama Hindu di Bali .
2. Untuk
mengetahui makna atau hakekat
yang terkandung dari Dinamisasi
Religiusitas Masyarakat Hindu di Bali pada masa Pemerintahan Dalem
Waturenggong dalam agama Hindu.
3. Untuk mendapatkan kejelasan tentang arti,
fungsi dan bentuk-bentuk Perubahan Dinamisasi Religiusitas Masyarakat Hindu di Bali
pada masa Pemerintahan Dalem Waturenggong alam agama Hindu tersebut.
4. Untuk mencegah penyalahgunaan Dinamisasi
Religiusitas Masyarakat Hindu di Bali yang dimulai dari masa Pemerintahan Dalem Waturenggong fungsi dari
itu.
Dengan
informasi yang jelas tentang Dinamisasi Religiusitas Masyarakat Hindu di Bali
pada masa Pemerintahan Dalem Waturenggong
tersebut diharapkan umat Hindu dapat lebih meningkatkan pemahaman
terhadap agamanya, selanjutnya meningkatkan úraddhà dan
bhaktinya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sang Hyang
Widhi Waúa, para devatà dan leluhur serta moralitas yang tinggi, cinta kasih
terhadap sesama serta kerukunan intern dan antar umat beragama.
Pemahaman
terhadap Religiusitas di kalangan intern umat Hindu akan mencegah atau
menghindarkan perbedaan pandangan tentang Kasta/wangsa, tatanan upacara
penyalahgunaan fungsi dari simbols-simbol agama, yang bila tidak dipahami
dengan baik, hal tersebut dapat memicu ketersinggungan dan mengancam kerukunan
umat
1.3.1.Tujuan Umum
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui dan memberikan informasi yang riil kepada masyarakat, terutama umat Hindu, bahwa Dinamisasi yang ada di kawasan Pelaksanaan Agama merupakan suatu sistem
yang terdiri dari banyak Dinamisasi dan jalur yang berbeda, sebagai satu
kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, sehingga
nantinya umat Hindu , tahu dan mengerti akan semua tatanan yang terdapat dalam Dinamisasi
tersebut dalam menghayati kebesaran Tuhan.
1.3.2.Tujuan Khusus
Secara khusus, penelitian ini bertujuan
untuk mendapatkan gambaran yang jelas terhadap topik permasalahan tersebut di
depan yang berjudul Peranan Dalem
Waturenggong Dalam Mervitalisasi Pelaksanaan Agama Hindu Di Bali (Ditinjau Dari
Persfektif Religiusitas Agama Hindu Di Bali) antara lain:
1). Untuk mengetahui,
mamahami dan menganalisis Peranan Dalem Waturenggong Dalam Mervitalisasi Pelaksanaan Agama Hindu
Di Bali (Ditinjau Dari Persfektif Religiusitas Agama Hindu Di Bali) sejarah
tentang
Religiusitas Masyarakat Hindu di Bali pada masa Pemerintahan Dalem
Waturenggong sebagai satu kesatuan yang utuh.
2). Untuk mengetahui,
mamahami dan menganalisis secara mendalam tentang tentang peranan Dalem Waturenggong Dalam Mervitalisasi
Pelaksanaan Agama Hindu Di Bali (Ditinjau Dari Persfektif Religiusitas Agama Hindu
Di Bali).
3) Untuk mengetahui, mamahami dan
menganalisis secara mendalam kedudukan dan fungsi tentang Dalem Waturenggong Dalam Mervitalisasi
Pelaksanaan Agama Hindu Di Bali (Ditinjau Dari Persfektif Religiusitas Agama Hindu
Di Bali)
1.4. Manfaat/ Kegunaan Penelitian
1.4.1.Manfaat Teoretis
Struktur, kedudukan dan fungsi serta Peranan Raja Dalem Waturenggong Dalam Mervitalisasi
Pelaksanaan Agama Hindu Di Bali (Ditinjau Dari Persfektif Religiusitas Agama Hindu
Di Bali) yang
terkandung di dalamnya sangat penuh dengan makna pendidikan religius yang jika
dikaji dan dikupas sangat bermanfaat bagi kehidupan rohani manusia utamanya
yang sudah menghayati arti dari ajaran dharma agama. Secara teoretis hasil
penelitian ini nantinya sangat
bermanfaat bagi dunia pendidikan,
terutama penerapan nilai-nilai pendidikan Agama Hindu.
1.4.2.Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini sangat
bermanfaat untuk memberikan petunjuk kepada Umat Hindu tentang Peranan Raja
Dalem Waturenggong Dalam Mervitalisasi Pelaksanaan Agama Hindu Di Bali
(Ditinjau Dari Persfektif Religiusitas Agama Hindu Di Bali)
secara keseluruhan, dan juga penelitian ini nantinya bisa
memberikan masukan kepada Pemerintah (Guru
Wisesa) dalam memberikan perhatian dan pelayanan baik dari bangunan fisik
maupun pelaksanaan upacara keagamaan kepada masing-masing rlapisan masyarakat yang
ada di kawasan Pelaksanaan Agama, sehingga
semua jalur tidak lagi terjadi beda pendapat tentang keberadaan Pelaksanaan Agama sebagai satu kesatuan
yang utuh.
- Get link
- X
- Other Apps
Popular Posts
Posted by
SUBHATMA
wangsa, soroh, kasta dan warna di Bali
- Get link
- X
- Other Apps
Posted by
SUBHATMA
BUNGA YANG BOLEH DIGUNAKAN UNTUK YADNYA
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment