Search This Blog
Kita semua adalah pelayan; biasa jadi pelayan keinginan sendiri, pelayan orang lain, pelayan masyarakat atau pelayan Tuhan ; jadilah pelayan yang mampu menyelamtkan diri di dunia dan akhirat
Featured
- Get link
- X
- Other Apps
Posted by
SUBHATMA
FILSAFAT ILMU DALAM SARASVATI
FILSAFAT ILMU DALAM SARASVATI
SEMANGAT BELAJAR DAN CINTA ILMU PENGETAHUAN*
Kavyaý vyàkaraóaý tarkam,
Veda úàstraý Puraóakam.
Kalpaúiddhìni tantràni,
Tvat prasadat samàrabhet.
Sarasvatìpùjà,
5.
(Atas
karunia Hyang Sarasvatì
umat manusia mempelajari
kitab suci Veda dan sastra, syair, tata-bahasa, logika,
berbagai disiplin dan sejarah)
Pendahuluan
Saraswati
adalah nama dewi, Sakti Dewa Brahma (dalam konteks ini, sakti berarti istri).
Dewi Saraswati diyakini sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam
fungsi-Nya sebagai dewi ilmu pengetahuan. Dalam berbagai lontar di Bali
disebutkan "Hyang Hyangning Pangewruh." Di India umat Hindu
mewujudkan Dewi Saraswati sebagai dewi yang amat cantik bertangan empat memegang:
wina (alat musik), kropak (pustaka), ganitri (japa mala) dan bunga teratai.
Dewi
Saraswati dilukiskan berada di atas angsa dan di sebe-lahnya ada burung merak.
Dewi Saraswati oleh umat di India dipuja dalam wujud Murti Puja. Umat Hindu di
Indonesia memuja Dewi Saraswati dalam wujud hari raya atau rerahinan.
Hari
raya untuk memuja Saraswati dilakukan setiap 210 hari yaitu setiap hari Sabtu
Umanis Watugunung. Besoknya, yaitu hari Minggu Paing wuku Sinta adalah hari
Banyu Pinaruh yaitu hari yang merupakan kelanjutan dari perayaan Saraswati.
Perayaan
Saraswati berarti mengambil dua wuku yaitu wuku Watugunung (wuku yang terakhir)
dan wuku Sinta (wuku yang pertama). Hal ini mengandung makna untuk mengingatkan
kepada manusia untuk menopang hidupnya dengan ilmu pengetahuan yang didapatkan
dari Sang Hyang Saraswati. Karena itulah ilmu penge-tahuan pada akhirnya adalah
untuk memuja Tuhan dalam mani-festasinya sebagai Dewi Saraswati.
Pada
hari Sabtu wuku Watugunung itu, semua pustaka terutama Weda dan sastra-sastra
agama dikumpulkan sebagai lambang stana pemujaan Dewi Saraswati. Di tempat
pustaka yang telah ditata rapi dihaturkan upacara Saraswati. Upacara Saraswati
yang pa-ling inti adalah banten (sesajen) Saraswati, daksina, beras
wangi dan dilengkapi dengan air kumkuman (air yang diisi kembang dan
wangi-wangian). Banten yang lebih besar lagi dapat pula ditambah dengan banten
sesayut Saraswati, dan banten tumpeng dan sodaan putih-kuning.
Upacara ini dilangsungkan pagi hari dan tidak boleh lewat tengah hari.
Menurut
keterangan lontar Sundarigama tentang Brata Saraswati, pemujaan
Dewi Saraswati harus dilakukan pada pagi hari atau tengah hari. Dari pagi
sampai tengah hari tidak diper-kenankan membaca dan menulis terutama yang
menyangkut ajaran Weda dan sastranya. Bagi yang melaksanakan Brata Saraswati
dengan penuh, tidak membaca dan menulis itu dilakukan selama 24 jam penuh.
Sedangkan bagi yang melaksanakan dengan biasa, setelah tengah hari dapat
membaca dan menulis. Bahkan di malam hari dianjurkan melakukan malam sastra dan
sambang samadhi.
Besoknya
pada hari Radite (Minggu) Paing wuku Sinta di-langsungkan upacara Banyu
Pinaruh. Kata Banyu Pinaruh artinya air ilmu pengetahuan. Upacara
yang dilakukan yakni menghaturkan laban nasi pradnyam air kumkuman
dan loloh (jamu) sad rasa (mengandung enam rasa). Pada puncak
upacara, semua sarana upacara itu diminum dan dimakan. Upacara lalu ditutup
dengan matirtha. Upacara ini penuh makna yakni sebagai lambang meminum
air suci ilmu pengetahuan.
Filosofi dan
Mitologi
Upacara dan upakara dalam
agama Hindu pada hakikatnya mengandung makna filosofis sebagai penjabaran dari
ajaran agama Hindu. Secara etimologi, kata Saraswati berasal dari Bahasa
San-sekerta yakni dari kata Saras yang berarti "sesuatu yang
mengalir" atau "ucapan". Kata Wati artinya memiliki. Jadi
kata Saraswati secara etimologis berarti sesuatu yang mengalir atau makna dari
ucapan. Ilmu pengetahuan itu sifatnya mengalir terus-menerus tiada
henti-hentinya ibarat sumur yang airnya tiada pernah habis mes-kipun tiap hari
ditimba untuk memberikan hidup pada umat manusia.
Sebagaimana disebutkan,
Saraswati juga berarti makna ucapan atau kata yang bermakna. Kata atau ucapan
akan memberikan makna apabila didasarkan pada ilmu pengetahuan. Ilmu
penge-tahuan itulah yang akan menjadi dasar orang untuk menjadi manusia yang
bijaksana. Kebijaksanaan merupakan dasar untuk mendapatkan kebahagiaan atau ananda.
Kehidupan yang bahagia itulah yang akan mengantarkan atma kembali luluh dengan
Brahman.
Dalam upacara atau hari
raya Saraswati, bagi umat Hindu di Indonesia, upacara dihaturkan dalam tumpukan
lontar-lontar atau buku-buku keagamaan dan sastra termasuk pula buku-buku ilmu
pengetahuan lainnya. Bagi umat Hindu di Indonesia aksara yang merupakan lambang
itulah sebagai stana Dewi Saraswati. Aksara dalam buku atau lontar adalah
rangkaian huruf yang membangun ilmu pengetahuan aparawidya maupun parawidya.
Aparawidya adalah ilmu pengetahuan tentang ciptaan Tuhan seperti Bhuana
Alit dan Bhuana Agung. Parawidya adalah ilmu pengetahuan tentang sang
pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu di Indonesia — juga di Bali —
tidak ada pelinggih khusus untuk memuja Saraswati yang di Bali diberi
nama lengkap Ida Sang Hyang Aji Saraswati. Gambar atau patung Dewi Saraswati
yang dikenal di Indonesia berasal dari India. Dewi Saraswati ada digam-barkan
duduk dan ada pula versi yang berdiri di atas angsa dan bunga padma. Ada juga
yang berdiri di atas bunga padma, sedang-kan angsa dan burung meraknya ada di
sebelah menyebelah dengan Dewi Saraswati.
Tentang perbedaan versi
tadi bukanlah masalah dan memang tidak perlu dipersoalkan. Yang terpenting dari
penggambaran Dewi Saraswati itu adalah makna filosofi yang ada di dalam simbol
gambar tadi. Dewi yang cantik dan berwibawa menggambarkan bahwa ilmu pengetahuan
itu adalah sesuatu yang amat menarik dan mengagumkan. Kecantikan Dewi Saraswati
bukanlah kemo-lekan yang dapat merangsang munculnya nafsu birahi. Kecantikan
Dewi Saraswati adalah kecantikan yang penuh wibawa. Memang orang yang berilmu
itu akan menimbulkan daya tarik yang luar biasa. Karena itu dalam Kakawin
Niti Sastra ada disebutkan bahwa orang yang tanpa ilmu pengetahun, amat
tidak menarik biarpun yang bersangkutan muda usia, sifatnya bagus dan keturunan
bangsawan. Orang yang demikian ibarat bunga merah menyala tetapi tanpa bau
harum sama sekali.
Sedangkan cakepan
atau daun lontar yang dibawa Dewi Saraswati merupakan lambang ilmu pengetahuan.
Sedangkan genitri adalah lambang bahwa ilmu pengetahuan itu tiada
habis-habisnya. Genitri juga lambang atau alat untuk melakukan japa. Ber-japa
yaitu aktivitas spiritual untuk menyebut nama Tuhan berulang-ulang. Ini pula
berarti, menuntut ilmu pengetahuan merupakan upaya manusia untuk mendekatkan
diri pada Tuhan. Ini berarti pula, ilmu pengetahuan yang mengajarkan menjauhi
Tuhan adalah ilmu yang sesat.
Wina yaitu sejenis alat musik, yang di Bali disebut rebab. Suaranya
amat merdu dan melankolis. Ini melambangkan bahwa ilmu pengetahuan itu
mengandung keindahan atau estetika yang amat tinggi.
Bunga padma adalah lambang Bhuana Agung stana Tuhan Yang Maha Esa. Ini
berarti ilmu pengetahuan yang suci itu memiliki Bhuana Alit dan Bhuana Agung.
Teratai juga merupakan lambang kesucian sebagai hakikat ilmu pengetahuan.
Angsa adalah jenis binatang unggas yang memiliki sifat-sifat yang baik
yaitu tidak suka berkelahi dan suka hidup harmonis. Angsa juga memiliki
kemampuan memilih makannan. Meskipun makanan itu bercampur dengan air kotor
tetapi yang masuk ke perutnya adalah hanya makanan yang baik saja, sedangkan
air yang kotor keluar dengan sendirinya. Demikianlah, orang yang telah dapat
menguasai ilmu pengetahuan, kebijaksanaan mereka memiliki kemampuan wiweka.
Wiweka artinya suatu kemampuan untuk membeda-bedakan yang baik dengan yang
jelek dan yang benar dengan yang salah. Bunga Padma atau bunga teratai adalah
bunga yang melambangkan alam semesta dengan delapan penjuru mata anginnya (asta
dala) sebagai stana Tuhan.
Burung merak adalah lambang kewibawaan. Orang yang mampu menguasai ilmu
pengetahuan adalah orang yang akan mendapatkan kewibawaan. Sehubungan dengan
ini, Swami Sakuntala Jagatnatha dalam buku Introduction of Hinduisme
menjelaskan bahwa ilmu yang dapat dimiliki oleh seseorang akan menyebabkan
orang-orang itu menjadi egois atau sombong. Karena itu ilmu itu harus diserahkan
pada Dewi Saraswati sehingga pe-miliknya menjadi penuh wibawa karena egoisme
atau kesom-bongan itu telah disingkirkan oleh kesucian dari Dewi Saraswati.
Ilmu pengetahuan adalah untuk memberi pelayanan kepada manusia dan alam serta
untuk persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Di dalam upakara yang
disebut Banten Saraswati salah satu unsurnya ada disebut jajan
Saraswati. Jajan ini dibuat dari tepung beras berwarna putih dan berisi lukisan
dua ekor binatang cecak. Mata cecak itu dibuat dari injin (beras hitam) dan di
sebelahnya ada telur cecak. Dalam banten Saraswati itu mempunyai arti yang
cukup dalam.
Menurut para ahli
Antropologi, bangsa-bangsa Austronesia memiliki kepercayaan bahwa binatang
melata seperti cecak diyakini memiliki kekuatan dan kepekaan pada
getaran-getaran spiritual. Jajan Saraswati yang berisi gambar cecak memberi
pelajaran bahwa ilmu pengetahuan itu jangan hanya berfungsi mengembangkan
kekuatan ratio atau pikiran saja, tetapi harus mampu mendorong manusia untuk
memiliki kepekaan intuisi sehingga dapat menangkap getaran-getaran rohani.
Dalam lontar Saraswati
juga memakai daun beringin. Daun beringin adalah lambang kelanggengan atau
keabadian serta pengayoman. Ini berarti ilmu pengetahuan itu bermaksud
mengantarkan kepada kehidupan yang kekal abadi. Ilmu pengetahuan juga berarti
pengayoman.
Tentang Dewi Saraswati
ada cerita menarik yang terdapat dalam Utara Kanda bagian dari epos Ramayana.
Dalam cerita tersebut dikisahkan Dewi Saraswati bersemayam secara gaib di lidah
Kumbakarna sehingga dunia terhindar dari kekacauan.
Alkisah Resi Waisrawa
beristri Dewi Kaikaisi. Pasangan Resi ini berputra empat orang, tiga orang laki
dan seorang perempuan. Putra sang resi yang pertama bernama Dasa Muka
(Rahwana), kedua Kumbakarna, ketiga bernama Dewi Surpanaka dan yang terkecil
bernama Gunawan Wibhisana. Sang Resi menugaskan putra laki-lakinya supaya
bertapa di gunung Gokarna. Ketiga putra Resi Waisrawa itu kemudian membangun
tempat pertapaan yang terpisah-pisah di gunung Gokarna. Bertahun-tahun mereka
bertapa dengan teguh dan tekunnya. Karena ketekunannya itu, lalu Dewa Brahma
berkenan memberikan anugrah.
Pertama-tama Dewa Brahma
mendatangi Rahwana. Dewa Brahma menanyakan tentang apa yang diharapkan dalam
tapanya ini. Rahwama mengajukan permohonan dapat kiranya Dewa Brahma
menganugrahkan kekuasaan di seluruh dunia. Semua dewa, gandarwa, manusia dan
seluruh makhluk di dunia ini tunduk padanya. Permohonan Rahwana ini dikabulkan.
Selanjutnya Dewa Brahma
menuju pertapaan Gunawan Wibhisana dan menyatakan pula akan memberikan anugrah
atas tapanya. Gunawan Wibhisana menyampaikan permohonannya dapat kiranya Dewa
Brahma memberikan anugrah berupa kese-hatan dan ketenangan rohani, memiliki
sifat-sifat utama dan taat melakukan pemujaan kepada Tuhan. Dewa Brahma
mengabulkan permohonan Wibhisana.
Begitu Dewa Brahma akan
beranjak menuju pertapaan Kumbakarna para dewa berdatang sembah kepada Dewa
Brahma. Para dewa memohon agar Dewa Brahma tidak menganugrahkan permohonan
Kumbakarna. Pasalnya, Kumbakarna berbadan rak-sasa yang maha hebat. Kalau ia
punya kesaktian, sungguh sangat membahayakan keselamatan manusia di dunia.
Meskipun ada permohonan para dewa itu, Dewa Brahma bertekad memberikan anugrah.
Sebab, jika tidak, Brahma merasa berlaku tidak adil kepada ketiga putra Resi
Waisrawa. Apalagi Kumbakarna juga melakukan tapa yang tekun sehingga layak
mendapat anugrah. Namun untuk memenuhi permohonan para dewa itu, Dewa Brahma
punya akal. Istri atau saktinya yaitu Dewi Saraswati diutus supaya berstana di
lidah Kumbakarna dan bertugas untuk membuat lidahnya salah ucap. Setelah itu
Dewa Brahma datang memberikan anugrah pada Kumbakarna.
Kumbakarna memohon
anugrah yakni agar selama hidupnya selalu senang. Karena itu ia semestinya
mengucapkan "suka sada". Namun akibat Saraswati membelokkan
lidah Kumbakarna, ucapan yang terlontar dari mulut raksasa tinggi besar itu
adalah "supta sada" yang artinya selalu tidur. Suka
artinya senang dan supta artinya tidur. Andaikata Kumbakarna mendapatkan
anugrah hidup bersenang-senang, maka besar kemungkinannya ia selalu meng-humbar
hawa nafsu. Raksasa yang menghumbar hawa nafsu tentu akan dapat mengacaukan
kehidupan di dunia. Demikianlah peranan Dewi Saraswati, dengan kata-kata yang
tersaring dalam lidah dapat menyelamatkan dunia dari kekacauan.
Di dalam kesusastraan
Weda, Saraswati adalah nama sungai yang disebut Dewa Nadi artinya sungainya
para dewa. Sungai Saraswati terletak di selatan daerah Brahmawarta atau
Kuruksetra. Di sebelah utara Kuruksetra ada sungai bernama sungai Dasdwati.
Kedua sungai itu diyakini berasal dari Indraloka. Karena itulah disebut Dewa
Nadi. Keterangan ini juga diuraikan dalam Manawa Dharmasastra II,17.
Karena itulah sungai Saraswati amat dihormati dalam puja mantra agama Hindu
seperti dalam mantra Sapta Tirtha atau Sapta Gangga uang menyebutkan tujuh
sungai utama di India. Tujuh sungai itu yaitu sungai Gangga, Saraswati, Shindu,
Wipasa, Kausiki, Yamuna dan Serayu. Dalam mantram Surya Sewana, Saraswati
dipuja pula dalam Catur Resi yaitu Sarwa Dewa, Sapta Resi, Sapta Pitara dan
Saraswati. Dewi Saraswati diyakini pula sebagai pemelihara kitab suci Weda. Hal
ini diceritakan dalam Salya Parwa sebagai berikut.
Di lembah sungai
Saraswati, terdapat tujuh resi ahli Weda yaitu Resi Gautama, Bharadwaja,
Wiswamitra, Yamadageni, Resi Wasistha, Kasiyapa dan Atri. Ketika musim kemarau
datang, keadaan di lembah sungai Saraswati itu kering. Tumbuh-tumbuhan tidak
dapat tumbuh dengan baik. Bahan makanan pun menjadi sulit didapat. Karena
keadaan alam yang gersang seperti itu, Sapta Resi itupun pindah ke tempat lain.
Sedangkan putra Dewi Saras-wati yang bernama Saraswata masih setia bertempat
tinggal di lembah sungai Saraswati. Karena kesetiaannya tinggal di tempat itu,
Saraswata mendapat perlindungan dari ibunya. Saraswata tetap mendapat bahan
makanan dari lembah sungai itu. Para Resi yang meninggalkan lembah sungai
Saraswati, lambat laun tidak tahan pada keadaan yang dialaminya. Karena di
tempatnya yang baru, mereka sulit juga mengubah nasib. Lagi pula para resi tadi
telah lupa pada isi Weda. Padahal, memahami Weda merupakan suatu kewajiban yang
mutlak sebagai identitas seorang resi. Gelar resinya akan tanpa makna kalau sampai
lupa pada isi Weda.
Keadaan itu menyebabkan
sang Sapta Resi kembali ke lembah sungai Saraswati. Di lembah sungai Saraswati
itulah para resi mohon kesediaan Dewi Saraswati membangkitkan kesadarannya
untuk kembali dapat memahami isi Weda yang merupakan tugas pokoknya. Dewi
Saraswati memberi anugrah apabila para resi bersedia menjadi siswanya. Para
resi bertanya, apakah patut orang yang lebih tua berguru pada yang muda karena
Dewi Saraswati masih sangat muda. Terhadap pertanyaan ini, Dewi Saraswati menjelaskan,
seorang guru kerohanian tidaklah tergantung pada umurnya, kekayaannya,
kebangsawanannya. Seorang guru kerohanian patut dilihat dari kemampuannya
menguasai dan menyampaikan isi Weda. Kedewasaan spiritual Wedalah yang menjadi
patokan utama. Penjelasan itu yang menyebabkan semua resi tetap berguru pada
Dewi Saraswati.
Setelah kejadian itu,
datang lagi enam puluh ribu orang menghadap Dewi Saraswati agar diterima
sebagai murid karena ingin mendalami lautan rohani Weda. Lewat para resi dan
siswa tadi, Dewi Saraswati mengidupkan dan menyebarkan isi Veda ke seluruh
pelosok dunia.
Mitologi Dewi Saraswati
dijelaskan pula dalam kitab Aiterya Brahmana. Dikisahkan seorang pendeta
bernama Resi Kawasa keturunan Sudra Wangsa. Pada suatu hari, sang resi memimpin
suatu upacara yajña. Karena resi itu keturunan Sudra Wangsa, maka sang resi
dilarang memimpin upacara oleh pendeta dari Wangsa Brahmana. Sang resi Kawasa
diusir dan dibuang ke padang pasir dengan tujuan agar ia mati di tengah-tengah
padang pasir yang gersang itu. Setelah ia berada di tengah-tengah padang pasir,
Resi Kawasa tetap melakukan pemujaan kepada Tuhan. Karena khusuknya pemujaan,
turunlah Dewi Saraswati dengan penuh kasih sayang. Resi Kawasa pun diajarkan
Weda mantra lengkap dengan Stuti dan Stotranya. Karena ketekunannya, semua
pelajaran dari Dewi Saraswati dapat dikuasainya dengan baik.
Kesucian dan kemampuan
Resi Kawasa akhirnya jauh meningkat dari sebelumnya. Dewi Saraswati menganggap,
kemampuan Resi Kawasa sudah luar biasa. Sang resi pun diizinkan kembali ke
tempatnya oleh Dewi Saraswati. Setelah ia sampai di tempatnya semula, pendeta dari
Wangsa Brahmana itu amat kagum atas keberhasilan Resi Kawasa. Resi Kawasa
memang mampu menujukkan kemahirannya tentang Weda baik teori maupun praktek
kehidupan sehari-hari berupa tingkah laku yang bersusila tinggi. Akibat
keutamaannya itu, Resi Kawasa diakui semua umat dan semua resi sebagai brahmana
pendeta sejati.
Demikianlah kekuasaan
Dewi Saraswati akan dapat mem-berikan peningkatan kesucian dan kehormatan
kepada mereka yang memujanya dengan sungguh-sunguh.
Pada Hari
Raya Saraswati
Tentang bunga padma yang
di Bali disebut bunga tunjung dipegang oleh salah satu tangan patung atau
gambar Dewi Saraswati adalah memiliki lambang-lambang tersendiri. Di dalam Kakawin
Saraswati disebutkan, bunga padma putih yang sedang kembang merupakan
lambang jantung di Bhuana Alit. Padma merah ada dalam hati, padma biru ada
dalam empedu. Budi suci sebagai aliran sungai Sindhu selalu meyakini kesuburan
bunga-bunga padma yang berwarna-warni itu.
Kecakapan
bagaikan aliran sungai Narmada.
Kemurnian
hatiku sebagai sungai Gangga.
Dewi
Saraswati berstana di lidah dan Dewi Irawati berstana di mata.
Demikianlah tujuan
pemujaan Dewi Saraswati. Kalau tujuan pemujaan Dewi Saraswati dapat tercapai
maka terhindarlah kita dari godaan penyakit, kelakuan jahat dan buruk.
Semua perumpamaan itu
adalah suatu metoda seni sastra agama untuk mendatang kehalusan budi. Agama
mengarahkan hidup, ilmu pengetahuan memudahkan hidup, sedangkan seni
meng-haluskan hidup. Karena itulah, memuja Tuhan Yang Maha Esa menurut
pandangan Hindu juga menggunakan aspek seni. Pe-mujaan kepada Dewi Saraswati
tiada lain adalah memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam aspeknya sebagai sumber ilmu
pengetahuan suci Weda.
Menggapai kesucian Weda
hendaknya juga melalui seni budaya yang indah. Khususnya yang didasarkan oleh keindahan
seni itulah yang akan dapat dijadikan dasar untuk mencapai kesucian Sang Hyang
Weda.
1. Sarasvatì, dewi ilmu pengetahuan
dan kebijaksanaan
Di Indonesia, setiap hari Sabtu Umanis Wuku
Watugunung, hari terakhir dari Wuku terakhir dan hari Minggu Pahing Wuku Sinta,
hari pertama dari Wuku pertama merupakan hari pemujaan kehadapan dewi
Sarasvatì, dewi ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan. Bagi umat Hindu, memuja
berbagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa yang jumlahnya tidak terbatas itu
adalah merupakan sarana untuk mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Di
antara ribuan manifestasi atau Udbhava-Nya
itu terdapat tiga manifestasi utama Sang Hyang Vidhi, Tuhan Yang Maha Esa,
yakni Brahma, Viûóu dan Úiva sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur alam semesta
dan segala isinya. Dalam sekala kecil, dalam setiap sel dari makhluk hidup
terjadi proses pencipta, tumbuh dan terpelihara dan lebur dalam bentuk
kematian. Kata Brahma dalam bahasa Sanskerta berarti: bertambah besar, meluap, mengembang dan sejenisnya. Brahma disebut Svayambhu, yang artinya tercipta dengan
sendiri-Nya karena tidak ada yang menciptakan-Nya. Sakti Brahma adalah
Sarasvatì yang artinya yang mengalir
tiada hentinya, pencipta huruf, penganugrah ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan,
yang menurunkan kitab suci Veda, pemberi inspirasi, pendorong semangat belajar
dan sejenisnya. Brahma yang disebut juga Caturmukha dan Caturbhuja menunjukkan
bahwa Tuhan Yang Maha Esa menguasai seluruh alama semesta dengan kemahakuasaan(Cadu Úakti)-Nya yang sangat dahsyat.
Kata Viûóu berarti: pekerja yang tekun,
yang meresapoi segalanya, yang memelihara segala dan sejenisnya. Sakti Viûóu adalah Úrì
dan Lakûmì yang
di Bali disebut
Úrì Sàdhanà dan Bhaþàrì Melanting. Kata Úrì berarti kebahagiaan, kemakmuran, keberuntungan, kekayaan, kebesaran, keagungan,
kecantikan, kemuliaan dan sejenisnya dan Lakûmì berarti kesejahtraan, kemakmuran, keberuntungan,
kecantikan, keindahan, kenang-kenangan yang indah dan sejenis dengan itu.
Sedang Sàdhanà berarti merealisasikan,
jadi Úrì Sàdhanà dimaksudkan mewujudkan
atau merealisasikan kesejahtraan dan kebahagiaan dalam diri, keluarga dan
lingkungan masyarakat. Selanjutnya Úiva berarti: yang memberikan keberuntungan (kerahayuan), yang baik hati, yang ramah,
suka memaafkan, menyenangkan, memberi banyak harapan, membahagiakan dan
sejenisnya. Sakti Úiva adalah dewi Durgà dan Parvatì. Kata Durgà berarti yang sulit dilalui, yang sulit di atasi,
dibendung dan yang tidak dapat ditentang. Segala kuasanya selalu terjadi,
tidak pernah gagal dalam menjalankan missinya sedang Parvatì adalah dewi gunung yang juga bermakna
menganugrahkan kemakmuran, sebab pada wilayah yang banyak terdapat gunung,
di sanalah sungai-sungai mengalir dan pada wilayah-wilayah itu selalu merupakan
daerah-daearh yang subur yang memberikan kemakmuran kepada umat manusia.
Berdasarkan tinjauan etimologis dan makna
semantik nama-nama yang ditujukan kepada keagungan dan kemahakuasaan-Nya adalah
hal-hal yang sangat didambakan oleh umat manusia. Demikian pula adalah merupakan
kewajiban bagi umat manusia untuk mempersembahkan puja bhakti atas karunia yang
telah dilimpahkan kepada umat-Nya itu. Bagi umat Hindu, perwujudan rasa
syukur dan terima kasih yang tulus
kepada-Nya dilakukan melalui pemujaan, mempersembahkan kesucian hatinya
kepada-Nya melalui peringatan atau perayaan hari-hari besar agama, seperti
halnya hari Sarasvatìpùjà yang kita rayakan bersama.
Kini timbul pertanyaan, mengapa hari
Sarasvti jatuh pada pertemuan Wuku terakhir dan pertama dalam perhitungan kalender
Bali-Jawa, apakah perayaan Sarasvatì di India juga jatuh pada hari yang sama,
hari Sabtu Umanis Wuku Watugunung ?
Sesuai dengan sejarah perkembangan agama Hindu di India dan di negara-negara
lainnya. Kedatangan agama Hindu di daerah-daerah itu tidak mengubah atau
menghapuskan pola budaya masyarakat setempat, justru mengangkat (mempermulia) unsur-unsur budaya-budaya setempat dengan memasukkan
nilai-nilai ajaran agama Hindu di daerah yang memeluk agama Hindu yang dikenal
dengan Sanatana Dharma, yakni ajaran
yang bersifat kekal abadi. Di India kita tidak mengenal sistem Wuku (Pawukon)
seperti kalender Jawa-Bali (Nusantara) seperti yang kita waris kini. Oleh
karena itu perayaan Sarasvatìpùjà di sana tidak bersamaan jatuhnya dengan
perayaan Sarasvatìpùjà di Indonesia. Di India pemujaan kepada Hyang Sarasvatì
umumnya dikaitkan dengan Durgàpùjà,
Dìpavalì dan Ràmanavàmi, yang
jatuhnya pada sekita awal bulan Nopember dan April setiap tahun. Dengan
demikian, Sarasvatì juga dipuja dua kali dalam setahun (tahun Masehi) seperti
halnya di Indonesia. Mengapa Sarasvatìpùjà jatuh pada hari terakhir dan hari
pertama dari tahun Wuku ? Rupanya hal ini dapat dijelaskan bahwa ketika agama
Hindu masuk ke Indonesia, orang Nusantara (khususnya Jawa dan Bali) sudah
mengenal sistem tahun yang dikenal dengan Wuku atau Pawukon itu. Demikianlah
hari-hari pemujaan kepada Iûþadevatà-Iûþadevatà, yakni
manifestasi-manifestasi Tuhan Yang Maha Esa tertentu yang sangat didambakan
oleh umat manusia yakni pengetahuan, kesejahtraan, kemakmuran, keberuntungan,
keselamatan dan sejenisnya yang terdapat di India dimasukkan dalam sistem
kalender Wuku itu. Sebagai contoh, hari-hari pemujaan kepada Iûþadevatà-Iûþadevatà seperti pemujaan
kepada Sarasvatì dijatuhkan pada hari
Sabtu Umanis Watugunung dan Minggu Pahing Wuku Sinta, hari Ayuddhapùjà dijatuhkan pada Tumpek Landep, hari Úaýkarapùjà dijatuhkan pada Tumpek
Variga, Úrì Lakûmìpùjà pada Senin Pon
dan Selasa Wage Wuku Sinta, Gurupùjà
(Parameûþigurupùjà) pada hari Rabu Kliwon Sinta dan lain-lain.
2.
Meningkatkan semangat belajar
Adalah
sangat memperihatinkan bahwa semangat belajar khususnya semangat membaca buku
sebagai dilansir oleh berbagai media massa adalah sangat lemah di Indonesia
dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya, khususnya di Asia. Hal
ini secara sederhana dapat dilihat dari jumlah penerbitan buku setiap tahunnya
dan kebiasaan masyarakat untuk membaca buku sangat jarang kita temukan di
tempat-tempat istirahat, di ruang tunggu rumah sakit atau praktek dokter, di
taman-taman kota, di kereta api atau dalam perjalan dengan transfortasi
lainnya. Gejala ini sebenarnya merupakan kendala dalam meningkatkan kecerdasan
bangsa sebagai diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni: melindungi tumpah darah Indonesia, mencerdaskan
kehidupan bangsa, memajukan kesejahtraan umum dan ikut serta mewujudkan
perdamaian dunia. Kondisi ini juga rupanya didukung pula oleh situasi
penjajahan dahulu. Di negara-negara bekas jajahan Inggris, pada umumnya
masyarakat di sana dengan mudah kita saksikan tradisi mereka membaca buku-buku
sebagai pengisi waktu dalam berbagai kesempatan terutama saat menunggu atau
saat bepergian dengan berbagai sarana transfortasi.
Belajar atau membaca buku sebenarnya
diamanatkan dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu yang lain, sebab tanpa
belajar atau membaca bagaimana mungkin kita meningkatkan kecerdasan individu,
masyarakat dan bangsa kita. Dengan tekun belajar dewi Sarasvatì akan memberikan
inspirasi atau kiat-kiat yang dapat meningkatkan kesejahtraan dan kebahagiaan
hidup manusia. Perhatikanlah kutipan-kutipan berikut:
Pàvamànìr yo adhyeti
åûibhiá
saýbhåtaý rasam,
tasmai
Sarasvatì duhe
kûiraý
sarpir madhùdakam.
Ågveda IX.67.32.
(Siapa
saja yang senang mempelajari kitab suci Veda, yang terdiri dari insti sari yang dipelajari oleh para resi. Tuhan Yang Maha Esa dalam
wujud-Nya dewi Sarasvatì
akan senantiasa menganugrahkan kesejahtraan(susu,mentega cair, madu dan
air Soma (panjang umur dan rejeki) yang berlimpah).
Satyaý vada dharmaý cara
svàdhyàya mà
pramadah.
Taittiriya
Upanisad I,11,1.
(Hendaknya
setiap orang berbicara benar/jujur,berbuatlah kebajikan (berdasarkan
Dharma),tekunlah belajar/membaca buku dan rajin sembahyang, janganlah lalai).
Tad viddhi praóipàtena
paripraúnena
sevayà,
upadekûyanti
te jñànaý
jñàninas
tattvadarúinaá.
Bhagavadgìtà
IV.34.
(Belajarlah
dengan tekun, sujud dan berdisplin, dengan bertanya-tanya dan bekerja dan
berbhakti. Guru yang budiman,yang
telah sempurna(yang melihat kebenaran) akan mengajarkan kepadamu
kebijaksanaan, ilmu dan budi pekerti yang luhur).
Úàstra yonitvàt Brahma
Sùtra Bhàûya I.1.3.
(Untuk
memahami keagungan Tuhan Yang Maha Esa dan segala ciptaan-Nya, tidak
ada yang lain sebagai sebagai
sumber yang valid yaitu hanya kitab suci Veda dan susastranya).
Sesungguhnya masih banyak ajaran dalam
agama Hindu yang dapat kita jumpai seperti dalam kitab-kitab Upaniûad,
Ràmàyana, Mahàbhàrata, Nìtiúàstra baik yang berbahasa Sanskerta, Jawa Kuno
ataupun Bali. Di Bali sebuah pupuh Ginadha yang sangat memasyarakat menekankan
sekali supaya setiap orang tiada henti-hentinya belajar:
Eda ngaden awak bisa,depang anake ngadanin,
gaginane
buka nyampat anak sai tumbuh luhu,
hilang
luhu, ebuke katah, yadin ririh liu enu,
ne
pelajahin.
Berdasarkan uraian tersebut di atas,
sebenarnya dengan persembahyangan memuja kebesaran Sang Hyang Vidhi melalui
memuja keagungan dewi Sarasvatì kita dituntut untuk belajar terus, satu sarana
yang efektif adalah dengan membaca buku-buku yang bermanfaat. Bila yang
melakukan Brata Sarasvatì, memang disebutkan adanya pantangan untuk tidak
membaca dan menulis selama pemujaan kepada dewi Sarasvatì, namun maknanya
dengan kontemplasi pada hari Sarasvatìpùjà kita berhasil lebih terdorong untuk
terus dan giat belajar, oleh karena itu membaca adalah salah satu untuk dapat
menguasai terangnya pelita ilmu.
Oý
Kûama svamàm
Oý
Úàntiá Úàntiá Úàntiá
- Get link
- X
- Other Apps
Popular Posts
Posted by
SUBHATMA
wangsa, soroh, kasta dan warna di Bali
- Get link
- X
- Other Apps
Posted by
SUBHATMA
BUNGA YANG BOLEH DIGUNAKAN UNTUK YADNYA
- Get link
- X
- Other Apps
Comments
Post a Comment