Skip to main content

Featured

pertama di indonesia

 

FILSAFAT ILMU DALAM SARASVATI




FILSAFAT ILMU DALAM  SARASVATI
SEMANGAT BELAJAR DAN CINTA ILMU PENGETAHUAN*

Kavyaý vyàkaraóaý tarkam,
Veda úàstraý Puraóakam.
Kalpaúiddhìni tantràni,
Tvat prasadat samàrabhet.
                                  Sarasvatìpùjà, 5.
(Atas  karunia  Hyang  Sarasvatì  umat manusia mempelajari  kitab  suci Veda  dan sastra, syair, tata-bahasa, logika, berbagai disiplin dan sejarah)
Pendahuluan
Saraswati adalah nama dewi, Sakti Dewa Brahma (dalam konteks ini, sakti berarti istri). Dewi Saraswati diyakini sebagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa dalam fungsi-Nya sebagai dewi ilmu pengetahuan. Dalam berbagai lontar di Bali disebutkan "Hyang Hyangning Pangewruh." Di India umat Hindu mewujudkan Dewi Saraswati sebagai dewi yang amat cantik bertangan empat memegang: wina (alat musik), kropak (pustaka), ganitri (japa mala) dan bunga teratai.
Dewi Saraswati dilukiskan berada di atas angsa dan di sebe-lahnya ada burung merak. Dewi Saraswati oleh umat di India dipuja dalam wujud Murti Puja. Umat Hindu di Indonesia memuja Dewi Saraswati dalam wujud hari raya atau rerahinan.
Hari raya untuk memuja Saraswati dilakukan setiap 210 hari yaitu setiap hari Sabtu Umanis Watugunung. Besoknya, yaitu hari Minggu Paing wuku Sinta adalah hari Banyu Pinaruh yaitu hari yang merupakan kelanjutan dari perayaan Saraswati.
Perayaan Saraswati berarti mengambil dua wuku yaitu wuku Watugunung (wuku yang terakhir) dan wuku Sinta (wuku yang pertama). Hal ini mengandung makna untuk mengingatkan kepada manusia untuk menopang hidupnya dengan ilmu pengetahuan yang didapatkan dari Sang Hyang Saraswati. Karena itulah ilmu penge-tahuan pada akhirnya adalah untuk memuja Tuhan dalam mani-festasinya sebagai Dewi Saraswati.
Pada hari Sabtu wuku Watugunung itu, semua pustaka terutama Weda dan sastra-sastra agama dikumpulkan sebagai lambang stana pemujaan Dewi Saraswati. Di tempat pustaka yang telah ditata rapi dihaturkan upacara Saraswati. Upacara Saraswati yang pa-ling inti adalah banten (sesajen) Saraswati, daksina, beras wangi dan dilengkapi dengan air kumkuman (air yang diisi kembang dan wangi-wangian). Banten yang lebih besar lagi dapat pula ditambah dengan banten sesayut Saraswati, dan banten tumpeng dan sodaan putih-kuning. Upacara ini dilangsungkan pagi hari dan tidak boleh lewat tengah hari.
Menurut keterangan lontar Sundarigama tentang Brata Saraswati, pemujaan Dewi Saraswati harus dilakukan pada pagi hari atau tengah hari. Dari pagi sampai tengah hari tidak diper-kenankan membaca dan menulis terutama yang menyangkut ajaran Weda dan sastranya. Bagi yang melaksanakan Brata Saraswati dengan penuh, tidak membaca dan menulis itu dilakukan selama 24 jam penuh. Sedangkan bagi yang melaksanakan dengan biasa, setelah tengah hari dapat membaca dan menulis. Bahkan di malam hari dianjurkan melakukan malam sastra dan sambang samadhi.
Besoknya pada hari Radite (Minggu) Paing wuku Sinta di-langsungkan upacara Banyu Pinaruh. Kata Banyu Pinaruh artinya air ilmu pengetahuan. Upacara yang dilakukan yakni menghaturkan laban nasi pradnyam air kumkuman dan loloh (jamu) sad rasa (mengandung enam rasa). Pada puncak upacara, semua sarana upacara itu diminum dan dimakan. Upacara lalu ditutup dengan matirtha. Upacara ini penuh makna yakni sebagai lambang meminum air suci ilmu pengetahuan.
Filosofi dan Mitologi
Upacara dan upakara dalam agama Hindu pada hakikatnya mengandung makna filosofis sebagai penjabaran dari ajaran agama Hindu. Secara etimologi, kata Saraswati berasal dari Bahasa San-sekerta yakni dari kata Saras yang berarti "sesuatu yang mengalir" atau "ucapan". Kata Wati artinya memiliki. Jadi kata Saraswati secara etimologis berarti sesuatu yang mengalir atau makna dari ucapan. Ilmu pengetahuan itu sifatnya mengalir terus-menerus tiada henti-hentinya ibarat sumur yang airnya tiada pernah habis mes-kipun tiap hari ditimba untuk memberikan hidup pada umat manusia.
Sebagaimana disebutkan, Saraswati juga berarti makna ucapan atau kata yang bermakna. Kata atau ucapan akan memberikan makna apabila didasarkan pada ilmu pengetahuan. Ilmu penge-tahuan itulah yang akan menjadi dasar orang untuk menjadi manusia yang bijaksana. Kebijaksanaan merupakan dasar untuk mendapatkan kebahagiaan atau ananda. Kehidupan yang bahagia itulah yang akan mengantarkan atma kembali luluh dengan Brahman.
Dalam upacara atau hari raya Saraswati, bagi umat Hindu di Indonesia, upacara dihaturkan dalam tumpukan lontar-lontar atau buku-buku keagamaan dan sastra termasuk pula buku-buku ilmu pengetahuan lainnya. Bagi umat Hindu di Indonesia aksara yang merupakan lambang itulah sebagai stana Dewi Saraswati. Aksara dalam buku atau lontar adalah rangkaian huruf yang membangun ilmu pengetahuan aparawidya maupun parawidya. Aparawidya adalah ilmu pengetahuan tentang ciptaan Tuhan seperti Bhuana Alit dan Bhuana Agung. Parawidya adalah ilmu pengetahuan tentang sang pencipta yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu di Indonesia — juga di Bali — tidak ada pelinggih khusus untuk memuja Saraswati yang di Bali diberi nama lengkap Ida Sang Hyang Aji Saraswati. Gambar atau patung Dewi Saraswati yang dikenal di Indonesia berasal dari India. Dewi Saraswati ada digam-barkan duduk dan ada pula versi yang berdiri di atas angsa dan bunga padma. Ada juga yang berdiri di atas bunga padma, sedang-kan angsa dan burung meraknya ada di sebelah menyebelah dengan Dewi Saraswati.
Tentang perbedaan versi tadi bukanlah masalah dan memang tidak perlu dipersoalkan. Yang terpenting dari penggambaran Dewi Saraswati itu adalah makna filosofi yang ada di dalam simbol gambar tadi. Dewi yang cantik dan berwibawa menggambarkan bahwa ilmu pengetahuan itu adalah sesuatu yang amat menarik dan mengagumkan. Kecantikan Dewi Saraswati bukanlah kemo-lekan yang dapat merangsang munculnya nafsu birahi. Kecantikan Dewi Saraswati adalah kecantikan yang penuh wibawa. Memang orang yang berilmu itu akan menimbulkan daya tarik yang luar biasa. Karena itu dalam Kakawin Niti Sastra ada disebutkan bahwa orang yang tanpa ilmu pengetahun, amat tidak menarik biarpun yang bersangkutan muda usia, sifatnya bagus dan keturunan bangsawan. Orang yang demikian ibarat bunga merah menyala tetapi tanpa bau harum sama sekali.
Sedangkan cakepan atau daun lontar yang dibawa Dewi Saraswati merupakan lambang ilmu pengetahuan. Sedangkan genitri adalah lambang bahwa ilmu pengetahuan itu tiada habis-habisnya. Genitri juga lambang atau alat untuk melakukan japa. Ber-japa yaitu aktivitas spiritual untuk menyebut nama Tuhan berulang-ulang. Ini pula berarti, menuntut ilmu pengetahuan merupakan upaya manusia untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Ini berarti pula, ilmu pengetahuan yang mengajarkan menjauhi Tuhan adalah ilmu yang sesat.
Wina yaitu sejenis alat musik, yang di Bali disebut rebab. Suaranya amat merdu dan melankolis. Ini melambangkan bahwa ilmu pengetahuan itu mengandung keindahan atau estetika yang amat tinggi.
Bunga padma adalah lambang Bhuana Agung stana Tuhan Yang Maha Esa. Ini berarti ilmu pengetahuan yang suci itu memiliki Bhuana Alit dan Bhuana Agung. Teratai juga merupakan lambang kesucian sebagai hakikat ilmu pengetahuan.
Angsa adalah jenis binatang unggas yang memiliki sifat-sifat yang baik yaitu tidak suka berkelahi dan suka hidup harmonis. Angsa juga memiliki kemampuan memilih makannan. Meskipun makanan itu bercampur dengan air kotor tetapi yang masuk ke perutnya adalah hanya makanan yang baik saja, sedangkan air yang kotor keluar dengan sendirinya. Demikianlah, orang yang telah dapat menguasai ilmu pengetahuan, kebijaksanaan mereka memiliki kemampuan wiweka. Wiweka artinya suatu kemampuan untuk membeda-bedakan yang baik dengan yang jelek dan yang benar dengan yang salah. Bunga Padma atau bunga teratai adalah bunga yang melambangkan alam semesta dengan delapan penjuru mata anginnya (asta dala) sebagai stana Tuhan.
Burung merak adalah lambang kewibawaan. Orang yang mampu menguasai ilmu pengetahuan adalah orang yang akan mendapatkan kewibawaan. Sehubungan dengan ini, Swami Sakuntala Jagatnatha dalam buku Introduction of Hinduisme menjelaskan bahwa ilmu yang dapat dimiliki oleh seseorang akan menyebabkan orang-orang itu menjadi egois atau sombong. Karena itu ilmu itu harus diserahkan pada Dewi Saraswati sehingga pe-miliknya menjadi penuh wibawa karena egoisme atau kesom-bongan itu telah disingkirkan oleh kesucian dari Dewi Saraswati. Ilmu pengetahuan adalah untuk memberi pelayanan kepada manusia dan alam serta untuk persembahan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Di dalam upakara yang disebut Banten Saraswati salah satu unsurnya ada disebut jajan Saraswati. Jajan ini dibuat dari tepung beras berwarna putih dan berisi lukisan dua ekor binatang cecak. Mata cecak itu dibuat dari injin (beras hitam) dan di sebelahnya ada telur cecak. Dalam banten Saraswati itu mempunyai arti yang cukup dalam.
Menurut para ahli Antropologi, bangsa-bangsa Austronesia memiliki kepercayaan bahwa binatang melata seperti cecak diyakini memiliki kekuatan dan kepekaan pada getaran-getaran spiritual. Jajan Saraswati yang berisi gambar cecak memberi pelajaran bahwa ilmu pengetahuan itu jangan hanya berfungsi mengembangkan kekuatan ratio atau pikiran saja, tetapi harus mampu mendorong manusia untuk memiliki kepekaan intuisi sehingga dapat menangkap getaran-getaran rohani.
Dalam lontar Saraswati juga memakai daun beringin. Daun beringin adalah lambang kelanggengan atau keabadian serta pengayoman. Ini berarti ilmu pengetahuan itu bermaksud mengantarkan kepada kehidupan yang kekal abadi. Ilmu pengetahuan juga berarti pengayoman.
Tentang Dewi Saraswati ada cerita menarik yang terdapat dalam Utara Kanda bagian dari epos Ramayana. Dalam cerita tersebut dikisahkan Dewi Saraswati bersemayam secara gaib di lidah Kumbakarna sehingga dunia terhindar dari kekacauan.
Alkisah Resi Waisrawa beristri Dewi Kaikaisi. Pasangan Resi ini berputra empat orang, tiga orang laki dan seorang perempuan. Putra sang resi yang pertama bernama Dasa Muka (Rahwana), kedua Kumbakarna, ketiga bernama Dewi Surpanaka dan yang terkecil bernama Gunawan Wibhisana. Sang Resi menugaskan putra laki-lakinya supaya bertapa di gunung Gokarna. Ketiga putra Resi Waisrawa itu kemudian membangun tempat pertapaan yang terpisah-pisah di gunung Gokarna. Bertahun-tahun mereka bertapa dengan teguh dan tekunnya. Karena ketekunannya itu, lalu Dewa Brahma berkenan memberikan anugrah.
Pertama-tama Dewa Brahma mendatangi Rahwana. Dewa Brahma menanyakan tentang apa yang diharapkan dalam tapanya ini. Rahwama mengajukan permohonan dapat kiranya Dewa Brahma menganugrahkan kekuasaan di seluruh dunia. Semua dewa, gandarwa, manusia dan seluruh makhluk di dunia ini tunduk padanya. Permohonan Rahwana ini dikabulkan.
Selanjutnya Dewa Brahma menuju pertapaan Gunawan Wibhisana dan menyatakan pula akan memberikan anugrah atas tapanya. Gunawan Wibhisana menyampaikan permohonannya dapat kiranya Dewa Brahma memberikan anugrah berupa kese-hatan dan ketenangan rohani, memiliki sifat-sifat utama dan taat melakukan pemujaan kepada Tuhan. Dewa Brahma mengabulkan permohonan Wibhisana.
Begitu Dewa Brahma akan beranjak menuju pertapaan Kumbakarna para dewa berdatang sembah kepada Dewa Brahma. Para dewa memohon agar Dewa Brahma tidak menganugrahkan permohonan Kumbakarna. Pasalnya, Kumbakarna berbadan rak-sasa yang maha hebat. Kalau ia punya kesaktian, sungguh sangat membahayakan keselamatan manusia di dunia. Meskipun ada permohonan para dewa itu, Dewa Brahma bertekad memberikan anugrah. Sebab, jika tidak, Brahma merasa berlaku tidak adil kepada ketiga putra Resi Waisrawa. Apalagi Kumbakarna juga melakukan tapa yang tekun sehingga layak mendapat anugrah. Namun untuk memenuhi permohonan para dewa itu, Dewa Brahma punya akal. Istri atau saktinya yaitu Dewi Saraswati diutus supaya berstana di lidah Kumbakarna dan bertugas untuk membuat lidahnya salah ucap. Setelah itu Dewa Brahma datang memberikan anugrah pada Kumbakarna.
Kumbakarna memohon anugrah yakni agar selama hidupnya selalu senang. Karena itu ia semestinya mengucapkan "suka sada". Namun akibat Saraswati membelokkan lidah Kumbakarna, ucapan yang terlontar dari mulut raksasa tinggi besar itu adalah "supta sada" yang artinya selalu tidur. Suka artinya senang dan supta artinya tidur. Andaikata Kumbakarna mendapatkan anugrah hidup bersenang-senang, maka besar kemungkinannya ia selalu meng-humbar hawa nafsu. Raksasa yang menghumbar hawa nafsu tentu akan dapat mengacaukan kehidupan di dunia. Demikianlah peranan Dewi Saraswati, dengan kata-kata yang tersaring dalam lidah dapat menyelamatkan dunia dari kekacauan.
Di dalam kesusastraan Weda, Saraswati adalah nama sungai yang disebut Dewa Nadi artinya sungainya para dewa. Sungai Saraswati terletak di selatan daerah Brahmawarta atau Kuruksetra. Di sebelah utara Kuruksetra ada sungai bernama sungai Dasdwati. Kedua sungai itu diyakini berasal dari Indraloka. Karena itulah disebut Dewa Nadi. Keterangan ini juga diuraikan dalam Manawa Dharmasastra II,17. Karena itulah sungai Saraswati amat dihormati dalam puja mantra agama Hindu seperti dalam mantra Sapta Tirtha atau Sapta Gangga uang menyebutkan tujuh sungai utama di India. Tujuh sungai itu yaitu sungai Gangga, Saraswati, Shindu, Wipasa, Kausiki, Yamuna dan Serayu. Dalam mantram Surya Sewana, Saraswati dipuja pula dalam Catur Resi yaitu Sarwa Dewa, Sapta Resi, Sapta Pitara dan Saraswati. Dewi Saraswati diyakini pula sebagai pemelihara kitab suci Weda. Hal ini diceritakan dalam Salya Parwa sebagai berikut.
Di lembah sungai Saraswati, terdapat tujuh resi ahli Weda yaitu Resi Gautama, Bharadwaja, Wiswamitra, Yamadageni, Resi Wasistha, Kasiyapa dan Atri. Ketika musim kemarau datang, keadaan di lembah sungai Saraswati itu kering. Tumbuh-tumbuhan tidak dapat tumbuh dengan baik. Bahan makanan pun menjadi sulit didapat. Karena keadaan alam yang gersang seperti itu, Sapta Resi itupun pindah ke tempat lain. Sedangkan putra Dewi Saras-wati yang bernama Saraswata masih setia bertempat tinggal di lembah sungai Saraswati. Karena kesetiaannya tinggal di tempat itu, Saraswata mendapat perlindungan dari ibunya. Saraswata tetap mendapat bahan makanan dari lembah sungai itu. Para Resi yang meninggalkan lembah sungai Saraswati, lambat laun tidak tahan pada keadaan yang dialaminya. Karena di tempatnya yang baru, mereka sulit juga mengubah nasib. Lagi pula para resi tadi telah lupa pada isi Weda. Padahal, memahami Weda merupakan suatu kewajiban yang mutlak sebagai identitas seorang resi. Gelar resinya akan tanpa makna kalau sampai lupa pada isi Weda.
Keadaan itu menyebabkan sang Sapta Resi kembali ke lembah sungai Saraswati. Di lembah sungai Saraswati itulah para resi mohon kesediaan Dewi Saraswati membangkitkan kesadarannya untuk kembali dapat memahami isi Weda yang merupakan tugas pokoknya. Dewi Saraswati memberi anugrah apabila para resi bersedia menjadi siswanya. Para resi bertanya, apakah patut orang yang lebih tua berguru pada yang muda karena Dewi Saraswati masih sangat muda. Terhadap pertanyaan ini, Dewi Saraswati menjelaskan, seorang guru kerohanian tidaklah tergantung pada umurnya, kekayaannya, kebangsawanannya. Seorang guru kerohanian patut dilihat dari kemampuannya menguasai dan menyampaikan isi Weda. Kedewasaan spiritual Wedalah yang menjadi patokan utama. Penjelasan itu yang menyebabkan semua resi tetap berguru pada Dewi Saraswati.
Setelah kejadian itu, datang lagi enam puluh ribu orang menghadap Dewi Saraswati agar diterima sebagai murid karena ingin mendalami lautan rohani Weda. Lewat para resi dan siswa tadi, Dewi Saraswati mengidupkan dan menyebarkan isi Veda ke seluruh pelosok dunia.
Mitologi Dewi Saraswati dijelaskan pula dalam kitab Aiterya Brahmana. Dikisahkan seorang pendeta bernama Resi Kawasa keturunan Sudra Wangsa. Pada suatu hari, sang resi memimpin suatu upacara yajña. Karena resi itu keturunan Sudra Wangsa, maka sang resi dilarang memimpin upacara oleh pendeta dari Wangsa Brahmana. Sang resi Kawasa diusir dan dibuang ke padang pasir dengan tujuan agar ia mati di tengah-tengah padang pasir yang gersang itu. Setelah ia berada di tengah-tengah padang pasir, Resi Kawasa tetap melakukan pemujaan kepada Tuhan. Karena khusuknya pemujaan, turunlah Dewi Saraswati dengan penuh kasih sayang. Resi Kawasa pun diajarkan Weda mantra lengkap dengan Stuti dan Stotranya. Karena ketekunannya, semua pelajaran dari Dewi Saraswati dapat dikuasainya dengan baik.
Kesucian dan kemampuan Resi Kawasa akhirnya jauh meningkat dari sebelumnya. Dewi Saraswati menganggap, kemampuan Resi Kawasa sudah luar biasa. Sang resi pun diizinkan kembali ke tempatnya oleh Dewi Saraswati. Setelah ia sampai di tempatnya semula, pendeta dari Wangsa Brahmana itu amat kagum atas keberhasilan Resi Kawasa. Resi Kawasa memang mampu menujukkan kemahirannya tentang Weda baik teori maupun praktek kehidupan sehari-hari berupa tingkah laku yang bersusila tinggi. Akibat keutamaannya itu, Resi Kawasa diakui semua umat dan semua resi sebagai brahmana pendeta sejati.
Demikianlah kekuasaan Dewi Saraswati akan dapat mem-berikan peningkatan kesucian dan kehormatan kepada mereka yang memujanya dengan sungguh-sunguh.
Pada Hari Raya Saraswati
Tentang bunga padma yang di Bali disebut bunga tunjung dipegang oleh salah satu tangan patung atau gambar Dewi Saraswati adalah memiliki lambang-lambang tersendiri. Di dalam Kakawin Saraswati disebutkan, bunga padma putih yang sedang kembang merupakan lambang jantung di Bhuana Alit. Padma merah ada dalam hati, padma biru ada dalam empedu. Budi suci sebagai aliran sungai Sindhu selalu meyakini kesuburan bunga-bunga padma yang berwarna-warni itu.
Kecakapan bagaikan aliran sungai Narmada.
Kemurnian hatiku sebagai sungai Gangga.
Dewi Saraswati berstana di lidah dan Dewi Irawati berstana di mata.
Demikianlah tujuan pemujaan Dewi Saraswati. Kalau tujuan pemujaan Dewi Saraswati dapat tercapai maka terhindarlah kita dari godaan penyakit, kelakuan jahat dan buruk.
Semua perumpamaan itu adalah suatu metoda seni sastra agama untuk mendatang kehalusan budi. Agama mengarahkan hidup, ilmu pengetahuan memudahkan hidup, sedangkan seni meng-haluskan hidup. Karena itulah, memuja Tuhan Yang Maha Esa menurut pandangan Hindu juga menggunakan aspek seni. Pe-mujaan kepada Dewi Saraswati tiada lain adalah memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam aspeknya sebagai sumber ilmu pengetahuan suci Weda.
Menggapai kesucian Weda hendaknya juga melalui seni budaya yang indah. Khususnya yang didasarkan oleh keindahan seni itulah yang akan dapat dijadikan dasar untuk mencapai kesucian Sang Hyang Weda.


1. Sarasvatì, dewi ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan
     Di Indonesia, setiap hari Sabtu Umanis Wuku Watugunung, hari terakhir dari Wuku terakhir dan hari Minggu Pahing Wuku Sinta, hari pertama dari Wuku pertama merupakan hari pemujaan kehadapan dewi Sarasvatì, dewi ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan. Bagi umat Hindu, memuja berbagai manifestasi Tuhan Yang Maha Esa yang jumlahnya tidak terbatas itu adalah merupakan sarana untuk mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa. Di antara ribuan manifestasi atau Udbhava-Nya itu terdapat tiga manifestasi utama Sang Hyang Vidhi, Tuhan Yang Maha Esa, yakni Brahma, Viûóu dan Úiva sebagai pencipta, pemelihara dan pelebur alam semesta dan segala isinya. Dalam sekala kecil, dalam setiap sel dari makhluk hidup terjadi proses pencipta, tumbuh dan terpelihara dan lebur dalam bentuk kematian. Kata Brahma dalam bahasa Sanskerta berarti: bertambah besar, meluap, mengembang dan sejenisnya. Brahma disebut Svayambhu, yang artinya tercipta dengan sendiri-Nya karena tidak ada yang menciptakan-Nya. Sakti Brahma adalah Sarasvatì yang artinya yang mengalir tiada hentinya, pencipta huruf, penganugrah ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan, yang menurunkan kitab suci Veda, pemberi inspirasi, pendorong semangat belajar dan sejenisnya. Brahma yang disebut juga Caturmukha dan Caturbhuja menunjukkan bahwa Tuhan Yang Maha Esa menguasai seluruh alama semesta dengan kemahakuasaan(Cadu Úakti)-Nya yang sangat dahsyat. Kata Viûóu berarti: pekerja yang tekun, yang meresapoi segalanya, yang memelihara segala dan sejenisnya.   Sakti Viûóu adalah  Úrì  dan  Lakûmì  yang  di  Bali  disebut  Úrì  Sàdhanà dan Bhaþàrì Melanting. Kata Úrì berarti kebahagiaan, kemakmuran, keberuntungan, kekayaan, kebesaran, keagungan, kecantikan, kemuliaan dan sejenisnya dan Lakûmì berarti kesejahtraan, kemakmuran, keberuntungan, kecantikan, keindahan, kenang-kenangan yang indah dan sejenis dengan itu. Sedang Sàdhanà berarti merealisasikan, jadi Úrì Sàdhanà dimaksudkan mewujudkan atau merealisasikan kesejahtraan dan kebahagiaan dalam diri, keluarga dan lingkungan masyarakat. Selanjutnya Úiva berarti: yang memberikan keberuntungan (kerahayuan), yang baik hati, yang ramah, suka memaafkan, menyenangkan, memberi banyak harapan, membahagiakan dan sejenisnya. Sakti Úiva adalah dewi Durgà dan Parvatì. Kata Durgà berarti yang sulit dilalui, yang sulit di atasi, dibendung dan yang tidak dapat ditentang. Segala kuasanya selalu terjadi, tidak pernah gagal dalam menjalankan missinya sedang Parvatì adalah dewi gunung yang juga bermakna menganugrahkan kemakmuran, sebab pada wilayah yang banyak terdapat gunung, di sanalah sungai-sungai mengalir dan pada wilayah-wilayah itu selalu merupakan daerah-daearh yang subur yang memberikan kemakmuran kepada umat manusia.

     Berdasarkan tinjauan etimologis dan makna semantik nama-nama yang ditujukan kepada keagungan dan kemahakuasaan-Nya adalah hal-hal yang sangat didambakan oleh umat manusia. Demikian pula adalah merupakan kewajiban bagi umat manusia untuk mempersembahkan puja bhakti atas karunia yang telah dilimpahkan kepada umat-Nya itu. Bagi umat Hindu, perwujudan rasa syukur  dan terima kasih yang tulus kepada-Nya dilakukan melalui pemujaan, mempersembahkan kesucian hatinya kepada-Nya melalui peringatan atau perayaan hari-hari besar agama, seperti halnya hari Sarasvatìpùjà yang kita rayakan bersama.

     Kini timbul pertanyaan, mengapa hari Sarasvti jatuh pada pertemuan Wuku terakhir dan pertama dalam perhitungan kalender Bali-Jawa, apakah perayaan Sarasvatì di India juga jatuh pada hari yang sama, hari Sabtu Umanis Wuku Watugunung ? Sesuai dengan sejarah perkembangan agama Hindu di India dan di negara-negara lainnya. Kedatangan agama Hindu di daerah-daerah itu tidak mengubah atau menghapuskan pola budaya masyarakat setempat, justru mengangkat (mempermulia) unsur-unsur  budaya-budaya setempat dengan memasukkan nilai-nilai ajaran agama Hindu di daerah yang memeluk agama Hindu yang dikenal dengan Sanatana Dharma, yakni ajaran yang bersifat kekal abadi. Di India kita tidak mengenal sistem Wuku (Pawukon) seperti kalender Jawa-Bali (Nusantara) seperti yang kita waris kini. Oleh karena itu perayaan Sarasvatìpùjà di sana tidak bersamaan jatuhnya dengan perayaan Sarasvatìpùjà di Indonesia. Di India pemujaan kepada Hyang Sarasvatì umumnya dikaitkan dengan Durgàpùjà, Dìpavalì dan Ràmanavàmi, yang jatuhnya pada sekita awal bulan Nopember dan April setiap tahun. Dengan demikian, Sarasvatì juga dipuja dua kali dalam setahun (tahun Masehi) seperti halnya di Indonesia. Mengapa Sarasvatìpùjà jatuh pada hari terakhir dan hari pertama dari tahun Wuku ? Rupanya hal ini dapat dijelaskan bahwa ketika agama Hindu masuk ke Indonesia, orang Nusantara (khususnya Jawa dan Bali) sudah mengenal sistem tahun yang dikenal dengan Wuku atau Pawukon itu. Demikianlah hari-hari pemujaan kepada Iûþadevatà-Iûþadevatà, yakni manifestasi-manifestasi Tuhan Yang Maha Esa tertentu yang sangat didambakan oleh umat manusia yakni pengetahuan, kesejahtraan, kemakmuran, keberuntungan, keselamatan dan sejenisnya yang terdapat di India dimasukkan dalam sistem kalender Wuku itu. Sebagai contoh, hari-hari pemujaan kepada Iûþadevatà-Iûþadevatà seperti pemujaan kepada Sarasvatì dijatuhkan  pada hari Sabtu Umanis Watugunung dan Minggu Pahing Wuku Sinta, hari Ayuddhapùjà dijatuhkan pada Tumpek Landep, hari Úaýkarapùjà dijatuhkan pada Tumpek Variga, Úrì Lakûmìpùjà pada Senin Pon dan Selasa Wage Wuku Sinta, Gurup­­ùjà (Parameûþigurupùjà) pada hari Rabu Kliwon Sinta dan lain-lain.

2. Meningkatkan semangat belajar
     Adalah sangat memperihatinkan bahwa semangat belajar khususnya semangat membaca buku sebagai dilansir oleh berbagai media massa adalah sangat lemah di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya, khususnya di Asia. Hal ini secara sederhana dapat dilihat dari jumlah penerbitan buku setiap tahunnya dan kebiasaan masyarakat untuk membaca buku sangat jarang kita temukan di tempat-tempat istirahat, di ruang tunggu rumah sakit atau praktek dokter, di taman-taman kota, di kereta api atau dalam perjalan dengan transfortasi lainnya. Gejala ini sebenarnya merupakan kendala dalam meningkatkan kecerdasan bangsa sebagai diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, yakni: melindungi tumpah darah Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahtraan umum dan ikut serta mewujudkan perdamaian dunia. Kondisi ini juga rupanya didukung pula oleh situasi penjajahan dahulu. Di negara-negara bekas jajahan Inggris, pada umumnya masyarakat di sana dengan mudah kita saksikan tradisi mereka membaca buku-buku sebagai pengisi waktu dalam berbagai kesempatan terutama saat menunggu atau saat bepergian dengan berbagai sarana transfortasi.

     Belajar atau membaca buku sebenarnya diamanatkan dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu yang lain, sebab tanpa belajar atau membaca bagaimana mungkin kita meningkatkan kecerdasan individu, masyarakat dan bangsa kita. Dengan tekun belajar dewi Sarasvatì akan memberikan inspirasi atau kiat-kiat yang dapat meningkatkan kesejahtraan dan kebahagiaan hidup manusia. Perhatikanlah kutipan-kutipan berikut:

              Pàvamànìr yo adhyeti
              åûibhiá saýbhåtaý rasam,
              tasmai Sarasvatì duhe
              kûiraý sarpir madhùdakam.
                             Ågveda IX.67.32.
(Siapa saja yang senang mempelajari kitab suci Veda, yang   terdiri dari insti sari yang dipelajari oleh para resi.    Tuhan Yang Maha Esa   dalam   wujud-Nya  dewi  Sarasvatì  akan senantiasa menganugrahkan kesejahtraan(susu,mentega cair, madu dan air Soma (panjang umur dan rejeki) yang berlimpah).

              Satyaý vada dharmaý cara
              svàdhyàya      pramadah.
                             Taittiriya Upanisad I,11,1.
(Hendaknya setiap orang berbicara benar/jujur,berbuatlah kebajikan (berdasarkan Dharma),tekunlah belajar/membaca buku dan rajin sembahyang, janganlah lalai).

              Tad viddhi praóipàtena
              paripraúnena sevayà,
              upadekûyanti te jñànaý
              jñàninas tattvadarúinaá.
                                  Bhagavadgìtà IV.34.
(Belajarlah dengan tekun, sujud dan berdisplin, dengan bertanya-tanya dan bekerja dan berbhakti.    Guru yang budiman,yang telah sempurna(yang melihat kebenaran) akan mengajarkan kepadamu kebijaksanaan,  ilmu  dan budi pekerti yang luhur).
              Úàstra yonitvàt                                Brahma Sùtra Bhàûya I.1.3.
(Untuk memahami keagungan Tuhan Yang Maha Esa dan segala ciptaan-Nya,   tidak  ada yang  lain sebagai sebagai sumber yang valid yaitu hanya kitab suci Veda dan susastranya).

     Sesungguhnya masih banyak ajaran dalam agama Hindu yang dapat kita jumpai seperti dalam kitab-kitab Upaniûad, Ràmàyana, Mahàbhàrata, Nìtiúàstra baik yang berbahasa Sanskerta, Jawa Kuno ataupun Bali. Di Bali sebuah pupuh Ginadha yang sangat memasyarakat menekankan sekali supaya setiap orang tiada henti-hentinya belajar:
              Eda ngaden awak bisa,depang anake ngadanin,
              gaginane buka nyampat anak sai tumbuh luhu,
              hilang luhu,  ebuke katah,   yadin ririh liu enu,
              ne pelajahin.
     Berdasarkan uraian tersebut di atas, sebenarnya dengan persembahyangan memuja kebesaran Sang Hyang Vidhi melalui memuja keagungan dewi Sarasvatì kita dituntut untuk belajar terus, satu sarana yang efektif adalah dengan membaca buku-buku yang bermanfaat. Bila yang melakukan Brata Sarasvatì, memang disebutkan adanya pantangan untuk tidak membaca dan menulis selama pemujaan kepada dewi Sarasvatì, namun maknanya dengan kontemplasi pada hari Sarasvatìpùjà kita berhasil lebih terdorong untuk terus dan giat belajar, oleh karena itu membaca adalah salah satu untuk dapat menguasai terangnya pelita ilmu.

     Oý Kûama svamàm
     Oý Úàntiá Úàntiá Úàntiá

Comments

Popular Posts